Senin, 09 Maret 2009

Menggali Pesona Beo Lete

Gosong..song.. song..warna kulitku.. jadi kayak habis dibakar dalam oven, jadi gosong banget…Kemarin saya baru saja pulang dari kampungnya ajus di Beo Lete (beo=kampung : bahasa manggarai), Desa Beawaek, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Udah lama banget kan saya gak kesana, terakhir pas penelitian bulan Maret tahun 2004 dulu, jadi sudah skitar 5 tahun yang lalu.

Tanggal 3 Maret kemarin saya berangkat ke Beo Lete menggunakan mobil bersama-sama keluarga saya. Kebeneran keluarga saya mau ngadain acara adat Teing Hang di sana, jadilah kami beramai-ramai berangkat ke sana. Dari rumah kami berangkat jam stengah satu siang ke arah Barat kota Ruteng melewati desa Mano, desa Bajar, beo Beawaek dan beo Carang. Jam satu lewat 20 menit kami tiba di beo Carang. Beo Carang adalah kampung yang berbatasan langsung dengan beo Lete. Karena aspal jalan baru sampai di desa Carang, maka mobil yang kami pakai hanya kami kendarai sampai di beo Carang. Dari beo Carang kami lalu melanjutkan dengan berjalan kaki ke Beo Lete sekitar 15 menitan.

Jam dua kurang 15 menit, kami kemudian sampai di Beo Lete. Kampung ini masih juga tidak berubah sejak lima tahun yang lalu saya menginjaknya. Sepi, becek dengan penghuni yang sangat ramah. Oya karena nenek moyangnya kampung ini adalah buyutnya ajus, jadinya banyak banget keluarga ajus di kampung ini. Jadinya begitu kita sampai, banyak keluarganya yang datang ke rumah kakek saya untuk melepas kangen bersama kami semua.


Ngikut Acara Adat Teing Hang

Pada umumnya masyarakat Manggarai masih sering melakukan acara adat Teing Hang. Ini terkait dengan kepercayaan akan adanya campur tangan roh-roh nenek moyang maupun orang-orang yang telah meninggal (pa’ang be le)terhadap kehidupan, sehingga walaupun telah memeluk agama katholik, tetapi persembahan tetap pula diberikan kepada nenek moyang. Acara adat teing hang ini adalah salah satu acara yang dilakukan untuk memberikan persembahan kepada arwah nenek moyang. Biasanya acara ini dilakukan sebelum melakukan sebuah kegiatan tertentu misalnya sebelum pembagian lahan komunal lingko (lodok lingko) atau sebelum acara penti untuk meminta campur tangan dan bantuan para roh nenek moyang agar kegiatan yang akan dilakukan dapat berjalan lancar. Begitu pula halnya dengan acara Teing Hang yang kami lakukan, karena paman saya (adik ajus) akan melaksanakan sebuah kegiatan penting, maka kami sekeluarga besar mengadakan acara teing hang untuk meminta bantuan para arwah nenek moyang melancarkan kegiatan yang akan dilakukan paman saya tersebut.
Acara teing hang sebenarnya terbilang sederhana. Yang diperlukan hanyalah seeokor ayam jantan berwarna putih, tuak dan siri pinang. Acara ini biasanya dipimpin oleh seorang tua golo (pemimpin dalam sebuah kampung/beo).


Pertama-tama tua golo melakukan tudak (tudak=doa),kemudian ayam putih tersebut disembelih. Setelah sembelih, dilakukan apa yang dinamakan toto urat, yakni melihat tanda-tanda pada usus ayam, guna meramalkan kegiatan yang akan dilakukan, juga untuk mengetahui tudak yang telah disampaikan diterima oleh TYME dan direstui oleh para leluhur. Ini adalah semacam cara meramal tradisional orang Manggarai. Setelah toto urat, ayam kemudian dibakar. Hati ayam kemudian diambil untuk dipersembahkan kepada arwah nenek moyang.
Sebelum dipersembahkan ada tudaknya juga yang biasanya disebut tudak takung (doa persembahan). Setelah tudak takung baru kemudian persembahan (helang) yang berupa hati ayam tadi dicampuri sedikit garam dan disajikan bersama nasi,tuak dan sirih pinang. Mungkin kita bertanya dimanakah helang tersebut kemudian diletakkan? Helang tersebut hanya diletakkan di depan pemimpin acara dalam hal ini tua golo. Dalam kepercayaan masyarakat, bahwa dalam acara ini arwah para leluhur telah hadir bersama-sama dalam acara tersebut, sehingga persembahan diletakkan di tempat itu juga. Setelah acara helang ini, selesailah acar teing hang, biasanya dilanjutkan dengan makan dan minum bersama.


Oya, selama acara adat ini saya menemukan barang-barang budaya yang hampir punah di bumi Manggarai ini. Benda di bawah dinamakan lopa, sedangkan bagian dalamnya disebut tepak. Lopa ini terbuat dari kuningan dan digunakan sebagai tempat menyimpan sirih/pinang. Menurut cerita, lopa ini bukan merupakan hasil budaya orang Manggarai. Lopa ini berasal dari Gowa. Dahulu Manggarai merupakan daerah kekuasaan kesultanan Gowa. Nah, Lopa ini merupakan hasil barteran antara mayarakat Gowa dan penduduk asli. Lopa ini dibarterkan dengan seekor kerbau. Tidak diketahui secara pasti apakah nama Lopa merupakan nama yang diberikan oleh orang Manggarai atau oleh orang-orang Gowa sendiri. Selanjutnya oleh orang Manggarai Lopa ini digunakan sebagai tempat menyimpan sirih/pinang.


Yang terlihat pada gambar di atas adalah sebuah robo. Kalau Lopa berasal dari Gowa, namun robo merupakan hasil karya anak negri ;-). Robo ini adalah tempat menyimpan tuak. Melihat gambarnya, kita mungkin berpikir bahwa robo ini terbuat dari tanah liat. Robo sebenarnya adalah buah yang dikeringkan. Buah apa bisa sebesar itu? Saya sendiri belum pernah melihat buahnya, karena buah itu memang sudah tidak diketemukan lagi saat ini, oleh masyarakat setempat, buah tersebut dinamakan cewak. Cewak merupakan tanaman menjalar sejenis ketela rambat. Oleh orang Manggarai buah cewak itu kemudian dikeluarkan isinya dan dikeringkan sehingga menghasilkan robo seperti terlihat pada gambar di atas.


Jalan-jalan ke Lingko Apung dan Wae Mese

Hari pertama dan kedua berada di
Beo Lete, saya dan keluarga disibukkan oleh acara adata Teing Hang. Pada hari ketiga, saya dan saudara2 saya kemudian jalan-jalan ke Lingko Apung dan Wae Mese.
Lingko adalah tanah komunal yang umumnya terdapat dalam setiap beo di Manggarai. Lingko dapat berupa kebun yang sedang dikerjakan ataupun lahan hutan yang pernah ataupun belum pernah dijadikan kebun. Sedangkan Apung adalah sebuah nama yang dipilih oleh masyarakat beo Lete untuk lingko tersebut, untuk membedakannya dengan lingko yang lainnya, karena dalam suatu beo bisa terdapat lebih dari satu lingko.
Yang unik dari Lingko Apung ini adalah masih jelasnya bentuk lodok lingko. Lodok lingko adalah suatu system pembagian Lingko di Manggarai yang pada prinsipnya dibuat dalam bentuk lingkaran seperti jaring laba-laba, seperti terlihat di gambar di bawah ini :


Lodok lingko bisa ditemukan tidak hanya di lahan basah seperti sawah tetapi juga pada lahan tanah kering, hanya saja jika di lahan tanah kering, bentuk lodok sudah tidak lagi dapat terlihat dengan jelas karena tertutup oleh kanopi tanaman, berbeda dengan lahan persawahan.
Menikmati lingko Apung ini memiliki kenikmatan tersendiri. Selain bentuknya yang unik, melihat sawah dan pondok-pondok, sesuatu yang jarang terlihat di kota adalah suatu hal yang menarik.

Puas berfoto-foto di Lingko Apung, kami kemudia
n jalan-jalan ke Wae Mese (wae=air; mese=besar) yakni sebuah sungai besar yang terletak di dekat Lingko Apung. Sungai ini keren banget, arusnya kuat, sepertinya akan asyik kalau dipakai buat arung jeram. Air sungai ini juga yang digunakan untuk mengairi sawah di Lingko Apung.

Satu yang saya perhatikan, bahwa di kampung Lete ini banyak sekali terdapat batu-batu besar, baik yang terdapat di sekitar pemukiman maupun di sekitar wae mese seperti terlihat pada gambar-gambar di atas. Waktu saya tanyakan kepada masyarakat setempat, mereka mengatakan bahwa batu-batu tersebut telah ada sejak jaman nenek moyang mereka dahulu. Ada tidak ya kemungkinan bahwa batu-batu ini berasal dari letusan gunung berapi? Sepertinya perlu penelitian khusus ya untuk mengetahui hal ini.



Ke Liang Golo

Hari berikutnya, saya dan sodara-sodara jalan-jalan ke Liang Golo (Liang=gua;Golo=bukit), yaitu sebuah gua. Dinamakan Liang Golo mungkin karena pintu masuk ke dalam gua ini terletak di atas sebuah bukit di beo Majung, sebuah kampung kecil di sebelah beo Lete. Menurut cerita masyarakat setempat, gua ini membentang mulai dari beo Majung melewati beo Lete hingga ke Wae Mese, diperkirakan sekitar 2 km. untuk membuktikan informasi tersebut kami tertantang untuk menaklukkan Liang Golo. Dengan perlengkapan yang minim (karena emang kurang persiapan) dan semangat yang maksimal kami kemudian masuk ke Liang Golo



Melihat mulut gua, kami semakin tertantang untuk masuk ke dalam gua. Masuk ke dalam gua ternyata sangat mudah, hanya perlu sedikit menunduk dan yup..tibalah ke dalam sebuah ruangan luas seperti dibawah ini :

Ruangan ini cukup luas, sekitar 5 m2. Tidak ada yang begitu menarik di dalam ruangan ini. Stalaktit dan stalakmitnya sudah terlalu sering dijamah sehingga terlihat seperti batu biasa yang terletak di luar gua.. Kami juga menemukan beberapa sarang tikus dan burung sriniti (Collacalia Esculanta).














Tidak lama di ruangan satu kami lalu melanjutkan menelu
suri gua ini, melewati sebuah lubang kecil dan kami kembali bertemu dengan sebuah ruangan luas seperti gambar di bawah ini:


Ruangan ini sedikit lebih luas dari ruangan yang pertama, namun keadaannya tidak berbeda jauh dengan ruangan yang pertama, hanya saja di dalam ruangan ini terdapat sebuah batu besar seperti terlihat pada gambar di atas (batu yang kami duduki).
Setelah melihat-lihat sebentar, kami kemudian melanjutkan perjalanan, tetapi kali ini sebagian anggota rombongan memilih keluar dari gua dengan alasan keselamatan, lalu yang melanjutkan penelusuran tertinggal hanya 7 orang yakni saya, tante Onik, inang Gina (kami pertahanin ini karena diyakini masyarakat setempat memiliki “isi”), Adi,Safe,Akri dan Fir.
Keluar dari ruangan kedua tadi, jalan yang kami lalui semakin sempit dan lembab. Kemudian kami tiba di sebuah ruangan kecil seperti pada gambar berikut ini :

Ruangan ketiga ini, lebih sempit dibandingkan dengan dua ruangan sebelumnya. Keadaannyapun lebih lembab. Kami semakin banyak menemukan sarang tikus dan burung sriniti berterbangan kesana kemari. Yang keren adalah stalaktitnya, wuih..hidup banget













Puas mengagumi ruangan ketiga, kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini tidaklah semudah sebelumnya. Jalan yang kami lalui sangatlah sempit. Walau bukan menjadi masalah yang berarti untuk saya yang kurus ;-0 tetapi luamayan susah untuk badan-badan sintal ;-)

Keluar dari lorong tersebut kami kemudian masuk ke dalam ruangan yang keempat. Keadaan ruangan ini juga tidak berbeda jauh dengan ruangan ketiga, hanya ukurannya saja yang sedikit lebih panjang

Sebelum melanjutkan perjalanan kembali, salah seorang anggota rombongan kami yakni Safe kembali mundur dan memilih keluar, lagi-lagi karena alasan keselamatan. Meninggalkan ruangan keempat adalah perjalanan yang tersulit, karena selain lorongnya sangat sempit dan panjang, juga keadaannya yang sangat becek . Ditengah perjalanan dalam lorong ini, kami menemukan sebuah persimpangan, setelah sedikit bingung, Adi yang memimpin rombongan lalu memutuskan mengambil sebuah arah yang ternyata membawa kami ke sebuah lorong panjang yang penuh dengan genangan air dan sangat sempit, sehingga kami harus merayap dengan tanpa bisa melakukan banyak gerakan. Keluar dari lorong itu kami kemudian masuk ke sebuah ruangan yang luas dengan lantainya yang kering bahkan berdebu. Keadaan disini luar biasa indah, stalaktitnya sangat alami dan indah.


Di ruangan kelima ini, kami kembali menemukan persimpangan. Hanya tidak begitu sulit bagi kami untuk memilih karena salah satu jalan telah sengaja tertutup oleh batu. Menurut cerita, pada jalan ini, terdapat sebuah lubang vertikal di bagian atasnya yang menembus keluar, karena di bagian atas jalan tersebut adalah merupakan kebun milik warga maka oleh warga lubang tersebut ditutup dengan melemparkan batu-batu ke dalam gua. Nah tumpukan batu tersebutlah yang menutup salah satu cabang jalan. Kami kemudian menempuh jalan yang satunya. Jalan ini sangat basah dan licin.

Jalan ini tidaklah sempit, kami hanya perlu sedikit menunduk untuk melewatinya. Berjalan sekitar 10 meter kami kemudian masuk kembali ke sebuah ruangan panjang yang tidak sebesar ruangan sebelumnya.
Ruangan ini juga sangat indah, stalaktit dan stalakmitnya sangat indah dan mengagumkan, burung srinitipun semakin banyak yang terbang berhamburan kesana kemari.



Dan sayangnya, perjalanan kami haruslah diakhiri disini. Karena setelah meninggalkan ruangan ini, kami dihadapkan pada sebuah lubang yang sangat sulit untuk dimasuki karena terlalu kecil untuk ukuran badan saya sekalipun. Seandainya kami membawa peralatan yang cukup, bisa saja, kami sedikit melebarkan lubang. Dengan kecewa kamipun harus menghentikan perjalanan ini.



Tapi tidaklah mengapa, setidaknya sudah banyak juga yang telah kami saksikan di dalam gua ini. Walaupun dengan utang menelusuri kembali gua ini suatu saat.
Perjalanan pulang terasa lebih ringan dan mudah, yang terdengar hanya suara tawa, tikus yang berlari kesana kemari dan kelelawar yang berterbangan menghindari cahaya.


Ke Tengku Bilas

Hari berikutnya kami kembali berjelajah. Kali ini tujuan kami ad
alah ke Tengku Bilas. Tengku bilas ini terletak di Beo Lete, merupakan sebuah air terjun kecil dengan kali di bawahnya. Walaupun terletak tidak begitu jauh dari pemukiman, namun topografi menuju tengku bilas ini lumayan sulit, jalannya sangat terjal menghampiri 90 derajat kemiringannya.

Namun semuanya terbayarkan dengan pemandangan yang kami jumpai di Tengku Bilas ini.




Tengku bilas ini asyik banget untuk melepas stress. Disini saya teriak sejadi-jadinya, gila banget soalnya tempatnya, apalagi tebingnya yang sedikit susah saya naiki, karena selain kemiringannya yang terjal juga karena tanahnya yang sangat licin.
Sayang banget tempat indah kayak gini, sama halnya wae mese dan Liang Golo, mesti terlantar kayak gini, padahal punya potensi wisata. Kurangnya informasi dan aksesibilitasnya yang sulit membuat obyek-obyek ini hanya dikenal oleh warganya sendiri.


Pulang Ke Ruteng.

Tanpa terasa tanggal 8 Maret datang juga. Kamipun harus kembali lagi ke Ruteng. Sebenarnya kami masih ingin tinggal, tetapi hal lain menunggu kami di Ruteng. Saya sendiri berjanji akan kembali lagi kesini, masih ada beberapa tempat yang ingin saya kunjungi, Liang Golopun masih ingin saya telusuri sampai ujungnya. Suatu saat, pasti………..!!!!!!!!!

Tidak ada komentar: