Senin, 01 Oktober 2007

Oleh-oleh dari Borneo

Borneo...???Hem...indah, cantik, dan tak terlupa. Beberapa hari yang lalu saya baru kembali dari Borneo, tepatnya di propinsi Kalimanan Timur. Sebenarnya ini bukan pertama kali saya ke Borneo, pada tahun 2002 yang lalu saya pernah juga menginjakkan kaki di sana, tetapi di Pontianak Kalimantan Barat.
Hanya saja, waktu itu saya belum berkesempatan untuk datang ke Kalimantan Timur dan kesempatan itu ternyata datang dengan tanpa diduga. Empat hari sebelum kesempatan itu tiba, saya diminta atasan saya datang ke Pulau Halmahera, di sana baru saya tahu ternyata saya ditugaskan lebih lanjut untuk datang ke PT.BNI (Barito Nusantara Indonesia) salah satu anak perusahaan yang juga bernaung di bawah perusahaan tempat saya bekerja PT.Barito Pacific Tbk, yang terletak di Kalimantan Timur.


Tapi emang gak ada bosannya pergi ke Borneo, kalo saya bilang sih, Borneo itu nirwana dunia, uih...tapi emang itu mungkin kata yang paling tepat buat mengggambarkan indahnya bumi Kalimantan, apalagi dengan budayanya yang eksotik, hem...emang bener2 takan terlupakan, sampai-samapi jatah pulang ke Flores harus kelindes demi melihat dari dekat sungai Mahakam.
Sayang seribu sayang kemarin itu kamera saya ketinggalan di pulau Mangole, jadilah saya ke Borneo gak bawa kamera, terpaksa harus menggunakan resolusi mini kamera HP, so hasil fotonya rada2 kurang memuaskan, tapi semua kenangan tentang Borneo telah terekam dalam sanubari, dengan jaminan bahwa semua itu takan pernah terhapuskan...^_^
Oleh-oleh dari sana..?? yup seribu cerita....


Meninggalkan Halmahera
Ke Samarinda, saya tidak ditugaskan sendirian. Bersama saya ditugaskan pula pa Thomas sebagai perwakilan dari PT.Kalpika Wanatama Mandafuhi dan Pa Broto sebagai perwakilan dari PT.Taiwi Sidangole. Pada tanggal 27 Agustus 2008, jam 9 pagi kami berangkat dari Pulau Halmahera ke Ternate menggunakan speed boat. Perjalanan dari Halmahera ke Ternate ditempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Tiba di pelabuhan Ternate, kami langsung berangkat ke Bandara Sultan Babulah Ternate untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke Manado.

Penerbangan ke Manado dijadwalkan pada jam 2 siang waktu Ternate. Sambil menunggu penerbangan kami menyempatkan diri untuk makan siang di sebuah kantin bandara. Penerbangan ke Manado memakan waktu kurang lebih satu jam tiga puluh menit. Jam stengah tiga waktu Manado atau jam stengah empat waktu Ternate, kami tiba di bandara internasional Sam Ratulangi Manado. Di bandara Manado oleh pa sopir perusahaan kami diantar ke hotel Regina Manado. Sebenarnya saya dan pa Thomas memiliki Mess di Manado, tetapi demi menemani pa Broto, kami lalu bersama-sama menginap di Hotel Regina. Tak lama di hotel, saya dan pa Thomas menyempatkan menengok mess kami di Jalan Yos Sudarso Paal Dua Manado.

Ke Samarinda
Pada 28 Agustus 2007, kami kemudian berangkat ke Balikpapan. Dari Manado ke Balikpapan kami mendapat penerbangan pagi hari jam 07.00 WIT. Karena harus chek in di bandara pada jam 06.00 WIT, maka kami chek out dari Hotel Regina Manado pada jam 06.00 dan langsung berangkat ke Bandara Sam Ratulangi Manado.

Jam 07.00 WIT kami terbang dari Bandara Sam Ratulangi menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Pada jam 08.30 kami tiba di bandara Internasional Sepinggan Balikpapan. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di bandara ini. Bandara yang sangat luas dan bagus. Arsitekturnya mengingatkan saya kepada bandara Adi Sucipto Yogjakarta, ya walaupun luasnya tidak bisa dibandingkan dengan bandara ini.
Oya selain saya, pa Broto dan Pa Thomas, juga ada tim dari PT.Barito Pacific Banjarmasin yang akan berangkat bersama-sama ke PT BNI.
Karena kedatangan tim kami hampir bersamaan dengan kedatangan tim dari Banjarmasin ini, maka kami memutuskan untuk menunggu kedatangan tim tersebut yang dijadwalkan tiba jam 10.00 untuk selanjutnya berangkat bersama-sama ke Samarinda.
Waktu menuggu sekitar satu setengah jam kami pergunakan untuk duduk2 di resto sambil makan roti dan minum teh.

Jam sepuluh kurang, kami mendapat kabar bahwa ternyata penerbangan teman-teman dari Banjarmasin ditunda sampai jam 14.00 WIB. Kami kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Samarinda tanpa menunggu kedatangan tim Banjarmasin tersebut. Dengan menggunakan taxi Bandara dengan biaya Rp.250.00, kami lalu melanjutkan perjalanan ke Samarinda. Walau tidak mengelilingi kota Balikpapan, tetapi dari jalan-jalan yang kami lalui dan bangunan-bangunan di sepanjang kiri-kanan jalan terlihat kemajuan kota termaju di Kalimantan Timur ini. Sayang, kami tidak sempat untuk jalan-jalan dulu di kota ini, tugas tidak bisa diajak kompromi.

Keluar dari Balikpapan, mata kami dimanjakan oleh hijaunya pepohonan di sepanjang kiri dan kanan jalan.
Perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda kami tempuh dalam waktu 2 jam. Kurang lebih jam 12.00 WITA kami tiba di Samarinda dan kami langsung menuju Hotel Pirus. Di hotel ini, kami telah ditunggu oleh Pa Prabowo, Direktur Operasional PT BNI.

Setelah berkenalan dan ngobrol sangat sebentar, kami kemudian langsung diajak makan siang oleh pa Bowo. Karena kami semua baru pertama kami menginjakkan kaki di Samarinda, kami lalu dibawa makan siang di rumah makan asli Samarinda. Di sana menu makanan yang tersedia adalah makanan-makanan khas Samarinda yang kebanyakan adalah ikan sungai. Karena perut saya masih belum bisa berkompromi dan rasanya eneg menelan makanan, maka saya tidak bernafsu untuk mencoba-coba makanan baru tersebut, saya kemudian hanya memesan ayam goreng dan segelas teh manis. Setelah makan, kami kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat.

Setelah mandi sore, saya bersama pa Thomas dan pa Broto berjalan-jalan di daerah-daerah di sekitar hotel Pirus. Karena baru saja turun hujan, jalanan yang kami lalui sangat kotor. Di Samarinda, hujan yang turun sering mengakibatkan banjir luapan parit dan got bahkan sungai Mahakam, yang mengakibatkan kotoran berserakan di jalan2 raya. Ini selain menggangu pemandangan mata, juga sangat mengganngu aktifitas pemakai jalan. Oya, katanya nama kota Samarinda itu berasal dari kata sama dan kata rendah, yang maknanya bahwa kota Samarinda itu datarannya sama rendahnya dengan permukaan sungai Mahakam, yang mengakibatkan selalu terjadi banjir setiap kali hujan turun.



Menyusuri Sungai Mahakam hingga Ke Medang
Setelah dua hari berada di Samarinda, kami kemudian berangkat ke camp PT.BNI di Medang desa Mamahak Kecamatan Long Bagun. Selain saya, pa Broto dan pa Thomas, juga bersama kami adalah bapak-bapak dari Banjarmasin yakni pa Sembiring dan pa Haryanto, juga ada seorang akuntan yang akan mengaudit ke camp BNI Medang Mamahak.

Rute perjalanan kami cukup jauh yakni dari Samarinda - Kota Bangun – Melak – Mamahak. Dari Samarinda kami menggunakan mobil menuju Kota Bangun, sebuah kota kecamatan kecil yang berada dipinggir sungai Mahakam. Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai Kota Bangun, lewat darat dengan menggunakan mobil selama ± 3 jam, atau melewati sungai Mahakam dengan menggunakan speedboat selama ± 6 jam. Untuk menghemat waktu, kami kemudian memilih menggunakan mobil ke Kota Bangun.

Dari Samarinda, kami berangkat jam 06.00 WIB. Karena masih terlalu pagi dan rasa ngantuk masih enggan beranjak (jiwa belum genap ;-)), saya tidak sempat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan karena lebih memilih tidur manis di kursi belakang.
Perjalanan ke kota Bangun yang seharusnya bisa ditempuh selama tiga jam, kemudian menjadi molor karena kami sempat beristirahat di tengah perjalanan sekedar meluruskan kaki-kaki.

Pukul setengah sepuluh pagi, kami tiba di Kota Bangun dan langsung menuju sebuah dermaga kecil tempat sebuah longboat menunggu kedatangan kami. Saya perhatikan, saat itu ternyata ada beberapa orang juga yang akan menyusuri sungai Mahakam seperti kami. Ternyata Kota Bangun memang sering dijadikan tempat start orang-orang yang ingin menyusuri sungai Mahakam, karena lebih murah dan lebih hemat waku jika dibandingkan dengan menggunakan longboat dari Samarinda.
Setelah memindahkan barang-barang bawaan kami ke atas longboat berkapasitas 6-8 orang, kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju Melak.

Wah..akhirnya kesampaian juga mimpi saya untuk menyusuri sungai terbesar di Propinsi Kalimantan Timur yang memiliki panjang hingga 920 km ini.
Perjalanan menyusuri sungai Mahakam ini sangat menyenangkan, saya yang dalam perjalanan dari Samarinda – Kota Bangun hanya bermain di alam tidur, kali ini tidak ingin melewati sungai Mahakam ini begitu saja, ini impian saya sejak dahulu.


Menyaksikan kehidupan sehari-hari masyarakat yang bermukim diatas rumah terapung disepanjang sungai juga sangat menyenangkan, ibu-ibu yang mencuci, anak-anak yang mandi di sungai, atau juga bapak-bapak yang asyik memancing di pinggiran sungai. Keberadaan Sungai Mahakam memang memberi arti penting bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Tak terbayangkan jika sungai ini rusak, kehidupan orang-orang yang tergantung pada sungai ini juga pasti akan terganggu.
Yang juga menarik perhatian saya adalah wc-wc terapung yang juga banyak terdapat di sepanjang sungai. Keberadaan wc-wc terapung ini sangat membantu bagi yang sedang menyusuri sungai, karena tidak perlu jauh-jauh turun ke darat jika perlu ke kamar kecil. Saya sendiri juga pernah menggunakan jasa wc terapung ini. Bagaimana rasanya (maaf) pipis di atas jamban yang bergoyang? Yang pasti harus penuh keseimbangan dan juga percaya diri tentu :-)

Pengguna jalur transportasi sepanjang sungai Mahakam sangatlah banyak, mulai dari perahu-perahu nelayan, kapal-kapal barang atau kapal penunpang, juga tongkang-tongkang pemuat kayu atau batu bara. Kayu-kayu yang dimuat adalah kayu-kayu layaknya pinsil raksasa, sangat jauh berbeda dengan kayu-kayu dari camp HTI saya di Maluku utara. Kalimantan…surga kayu…salah satu kekayaan alam yang membuat propinsi ini kaya.
Menyusuri sungai Mahakam juga memberikan pengalaman berbeda. Arus sungai ternyata juga bisa memberikan senam ekstra buat jantung seperti halnya arus laut, apalagi ukuran longboat kami yang kecil dan gampang oleng diterpa arus sungai.
Walau demikian, saya semakin menikmati perjalanan menyusuri sungai ini, hingga tak terasa kamipun tiba di di Melak pada jam 12.30 WIB setelah menyusuri sungai selama 3 jam. Di dermaga Melak, sebuah speedboat sudah menunggu kedatangan kami, tetapi karena sudah waktunya makan siang, kamipun memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil makan siang.




Sebuah warung makan yang terletak di depan dermaga, menjadi pilihan kami. Menu ikan jelawat bakar sepertinya menggugah selera saya, apalagi jika diselingi dengan es kelapa muda. Makan siang kali itu menjadi sangat nikmat.
Karena tidak ingin kemalaman di perjalanan, Jam 13.00 kamipun kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami menggunakan sebuah speed yang sedikit lebih tangguh dari loangboat yang sebelumnya kami pakai dari Kota Bangun. Speedboat ini berkapasitas hanya 8-10 orang, kecil memang dibandingkan dengan speedboat yang biasa kami gunakan di Maluku Utara. Bentuk moncongnyapun sedikit berbeda. Mungkin karena lebih banyak digunakan di atas laut,speedboat yang biasa kami gunakan di Maluku Utara moncongnya sedikit lebih tajam, ini mungkin berfungsi sebagai pemecah ombak.

Pemandangan di sepanjang perjalanan kami kali ini tidak jauh berbeda dengan perjalanan kami dari kota bangun ke Melak. Hanya saja, semakin ke hulu, arus sungai yang menghantam speedboat kami juga semakin nakal saja. Walaupun menggunakan speedboat yang lebih tangguh, tetapi speedboat kami masih juga oleng ke kiri dan ke kanan. Sekitar sekilo keluar dari Melak, sinyak HP sudah tidak tertangkap lagi.ini seperti menegaskan bahwa perjalanan sudah semakin masuk ke hulu sungai. Jejeran rumah2 penduduk juga semakin jarang terlihat, hutan-hutan bakau yang mengapit bibir sungai juga semakin rapat. Hanya sesekali kami masih berpapasan dengan cess atau perahu-perahu penduduk. Tak terasa sayapun tertidur dan baru tersadar ketika hari sudah hampir gelap. Jam 16.30 sore. Sebenarnya hari belum terlalu sore, tetapi karena pohon-pohon yang tumbuh rimbun menjadikan keadaan sekitar menjadi temeram.


Jam 17.00 speedboat kami mulai merapat ke sebuah dermaga kecil. Saya pikir kami hanya akan berhenti sebentar, ternyata kami telah sampai di logpond Medang desa Mamahak.
Keadaan sekitar begitu sunyi dan sepi hanya ada sebuah warung terapung yang tepat berada di samping dermaga. Ternyata, camp masih terletak sekitar 100 meter dari dermaga dan tertutup oleh sebuah tebing.
Karena jalan ke camp yang sempit dan licin karena habis hujan, kamipun berjalan beriringan dengan memikul bawaan masing-masing.
Tiba di camp, oleh ibu Tuti seorang pegawai bagian sdm, kami diantar ke sebuah mess tamu. Mess ini berlantai dua, dilantai satu adalah kantor PT.BNI Logpond Medang, sedangkan lantai dua adalah mess untuk tamu.

Keseluruhan karyawan dan fasilitas di camp ini maupun di kantor Samarinda adalah milik kontaktor PT. PT.Hutanindo. Perusahaan ini adalah yang mengerjakan ijin Pemanfaatan Hutan milik PT.BNI. Begitu pula seluruh karyawannya adalah karyawan PT.Hutanindo, sedangkan yang merupakan karyawan PT.BNI hanyalah pa Bowo selaku direktur Operasional serta Direktur Utamanya. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa kami ditugaskan ke perusahaan ini. Karena yang mengerjakan adalah kontraktor, maka perhatian terhadap pelaksanaan kegiatan TPTI juga minim. Bukan rahasia umum, yang namanya kontraktor, fokus utama usahanya adalah bagaimana mengeluarkan kayu dengan mengabaikan usaha-usaha pelestarian fungsi hutan. Padahal disisi lain, LPI (Lembaga Penilai Independen) akan melakukan penilaian terhadap kinerja pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan system TPTI di perusahaan ini. Dengan mendatangkan karyawan dari sesama anak perusahaan, diharapkan dapat membantu memperbaiki kinerja PHPL yang telah ada.

Kami kemudian diberikan 3 buah kamar. Saya menempati sebuah kamar, pa Broto dan pa Thomas sebuah kamar, pa Sembiring dan pa Haryanto sebuah kamar. Kamarnya bersih dan harum dengan sebuah AC dan kasur yang empuk. Setelah baring-baring sejenak, saya kemudian beranjak mandi. Begitu saya membuka keran kamar mandi, airnya ternyata tidak sejernih air di Samarinda. Beginilah air Mahakam, akhirnya setelah saya menyusuri sungainya, saya merasakan juga mandi dengan air Mahakam.
Setelah mandi, saya kemudian duduk2 di ruang tv yang kebetulan berada di depan kamar saya sambil minum teh dengan bapak-bapak yang lain. Tak lama kemudian, kami lalu berkenalan dengan kepala unit bpk Awang Afri dan Kepala bagian TPTI bapak Awang Sudjana. Pa Awang Sudjana ini adalah bekas karyawan PT.BNI yang ditarik perusahaan kontarktor ini untuk mengurusi TPTI. Nah selanjutnya pa Awang inilah yang mendampingi kami. Setelah makan malam, kami kemudian mendiskusikan dengan pa Awang Sudjana rencana kegiatan kami esok hari.
Esok harinya tanggal 31 Agustus, kami lalu berangkat ke camp TPTI yang masih berjarak 75 km dari logpond.



Ke Camp TPTI Blino km 75
Perjalanan ke km 75 yang semula direncanakan pada pukul 08.00 ternyata harus molor menunggu jemputan dari camp 75. Jam 11.00 mobil kijang pic up baru datang menjemput. Dengan didampingi pa Awang, kami kemudan berangkat. Sopir mobil kami adalah pak Asley, dayak Palangkaraya yang bak hati. Sepanjang perjalanan bapak ini banyak bercerita tentang keadaan PT.BNI dan juga masyarakat di sekitar areal konsesi.

Perjalanan yang sebelumnya terbayang akan sangat melelahkan, ternyata sangat mengasyikkan. Jalan yang kami lewati tergolong mulus untuk ukuran jalan hutan. Apalagi di sepanjang perjalanan mata kami dihibur oleh hijau tumbuhan. Kantong semar adalah favorit saya, ini adalah kali pertama saya melihat tumbuhan ini. Dalam bayangan saya selama ini, kantong semar memilki kantong yang besar, ternyata kantongnya hanya seukuran setengah botol aqua kecil. Kantong semar yang saya temun disin ada dua, yakni yang berwarna merah dan berwarna hijau. Tanaman lain yang saya sukai adalah anggrek tanah. Anggrek ini berbeda dengan anggrek tanah yang selama ini saya kenal. Warnanya putih, ungu dan campuran keduanya.

Di km 28, mobil kami berhenti sebentar. Di sini, ada sebuah camp pertengahan. Setelah berhenti sebentar, perjalananpun kemudian dilanjutkan hingga kami sampai di pintu angin. Pintu angin adalah nama yang dberikan oleh masyarakat setempat untuk sebuah gunung kecil (bukit) bernama Punjung. Diberi nama pintu angin karena keadaannya yang terbuka seolah seperti sebuah pintu tempat masuk dan keluarnya angin.
Pemandangan di bukit Punjung sangat indah. Dari situ terlihat hamparan hutan areal PT. BNI dengan jepretan-jepretan foto, tidak rela menyimpan areal yang rata, seperti permadani hijau, indah banget. Kami kemudian mulai bergaya denganpemandangan ini hanya dalam ingatan tanpa sebuah dokumen abstrak.










Selepas dari pintu angin, perjalanan mulai berkelak-kelok, karena banyaknya bukit-bukit kecil yang kami melewati. Cemara-cemara semakin bayak tumbuh liar di kiri-kanan jalan. Wah, kalau saja saya tinggal di Samarinda, anakan cemara yang cantik-cantik ini akan saya bawa pulang.
Di km 62 , kami kemudian berhenti juga. Disini ada sebuah TPK. Kayu diTPK ini bagus-bagus, seperti pensil raksasa, besar, lurus dan mulus.











Setelah melihat-lihat sebentar, kami lalu melanjutkan perjalanan ke camp km 75. kurang lebih 15 menit kemudian kami lalu tiba di camp 75.

Di camp 75, saya ditempatkan di mess TPTI. Di mess ini terdapat satu pegawai perempuan dan di kiri-kanan mess ini terdapat beberapa mess keluarga. Sedangkan bapak-bapak teman saya seteam mendapat tempat menginap di mess tamu. Antara mess tamu dan mess TPTI ini dipisahkan oleh sebuah sungai yakni sungai Blino dengan lebar skitar 5 meter.
Penghuni mess TPTI sangat ramah-ramah. Pa Sukro yang biasa kita panggil babe, Om Paing, Ma’ruf dan Ajeng putrinya babe yang adalah ponakan om Paing dan pacarnya Ma’ruf (nah lho..;-) ). Mereka semua itu adalah orang Jawa yang sudah menetap lama dan seperti orang Samarinda. Saya ditempatin sekamar sama Ajeng. Ajeng ini nama sebenarnya adalah Sawitri, tetapi karena “cerewet”nya (he..he..) Sawitri dipanggil Ajeng (kayak Jeng-Jeng yang suka ngomel he…he..peace ya Jeng) sebenarnya si Ajeng ini gak ada cerewet-cerewetnya malah baik hati banget dan gak banyak bicara, hanya saja kadang kambuh cerewetnya kalo lagi ada yang gak beres. Selama sebulanan di Blino camp km 75, Ajeng adalah teman paling setia yang menemani waktu-waktu saya.












Kerja, Main dan Kerja Lagi
Hari-hari selanjutnya di camp Blino dipenuhi dengan pembenahan dimana-mana. Saya sendiri mendapat bagian membenahi bagian sosial, tetapi karena persyaratan bagian sosial sudah bisa dibilang beres, maka saya kemudian membantu pa Thomas di bagian ekologi. Sementara Pa Broto di bagian produksi, sedangkan Pa Sembiring dan Pa Haryanto di bagian perencanaan.










Sejauh pengamatan saya, kondisi PHPL di PT BNI ini sudah lumayan, hanya perlu pembenahan sedikit. O ya tahun 2006 lalu, kinerja PHPL di perusahaan ini pernah dinilai juga oleh team LPI dan memperoleh predikat buruk. Berhubung tahun 2008 adalah waktu perpanjangan masa pengusahaan hutan PT BNI, maka agar tidak menjadi penghambat pemberian ijin oleh Departemen Kehutanan, maka pihak managemen kemudian menyewa konsultan untuk membantu perubahan kinerja PHPL perusahaan. Jadilah sejak awal tahun 2007, perusahaan membuat pembenahan disana-sini berdasarkan rekomemdasi konsultan. Sehingga tidak heran jika begitu kami datang, kondisi disana memang sudah lumayan. Jauh dari bayangan saya dahulu sebelum kesini, ternyata keadaan disini sudah lumayan, hanya membutuhkan sedikit pembenahan kembali.











sambil berbenah, kami juga sibuk mencari-cari tanaman langka yang bisa dibawa pulang. Yang paling kami cari tentu saja anggrek. Bumi Kaltim inikan sangat terkenal dengan anggreknya. Ada berbagai macam anggrek langka disini seperti anggrek hitam dan anggrek macan. Sejauh eksplorasi kami selama di Blino, kami hanya menemukan anggrek macan dan beberapa anggrek bulan serta anggrek tanah. Menurut informasi masyarakat setempat, anggrek hitam memang sudah sangat jarang mereka temui, karena banyaknya eksplorasi terhadap anggrek ini untuk tujuan komersil.

Selain anggrek, tanaman lain yang menjadi favorit kami adalah sarang semut. Sarang semut sebenarnya ada juga di Maluku, tetapi saya baru menemukan tanaman ini di Blino. Sarang semut ini juga sudah mulai jarang ditemui seiring banyaknya yang mencari untuk dijual kembali. Dahulu di sepanjang sungai Blino adalah habitat sarang semut ini,tetapi sekarang hanya terlihar sisa-sisanya.









Selain tanam an di atas,banyak banget aneka tanaman yang baru saya jumpain dikalimantan ini, seperti pasak bumi, tebet barito dan benggaris. Pohon benggaris ini adalah pohon bertajuk lebar yang biasanya dihuni oleh lebah madu. Tetapi anehnya di Blino ini, lebah madu ogah mendiami benggaris, mereka lebih suka berkoloni dipohon meranti, aneh ya tapi nyata.

Selain tumbuhan, hewan juga masih banyak terdapat di Blino. Sejauh yang pernah saya temuin, monyet (pasti) masih sering keliaran kesana dan kemari. Ada juga rusa (menjangan) dan landak. Ada pengalaman seru selama diBlino, saya pertama kali menyantap daging landak. Dalam bayangan saya sebelumnya, daging landak pastilah keras seperti bulunya, ternyata rasanya manis dan empuk seperti daging ayam, apalagi daging landak ini hanya diasap, jadi cita rasanya terjaga.
Binatang lain yang juga saya temuin adalah burung-burung dan Tupai. Tupai binatang yang sangat lucu, mirip marmut hanya saja ekornya sangat panjang. Binatang ini makannya adalah buah dan daun, makanya binatang ni manja dan sangat jinak.


Salah satu binatang yang menjadi cirri khas Kaltim adalah Burung Enggang, yang bulunya biasanya dijadikan hiasan kepala pakaian adat Kaltim. Kabarnya, burung ini kadang-kadang masih terlihat di sekitar virgin forest salah satunya dikawasan plasmanutfah. Saya tentu saja tidak ingin melewatkan begitu saja kesempatan ini.

Pada hari rabu tanggal 5 September, bersama Om Paing, Pa Awang, Maruf dan Pa Thomas, kamipun berangkat ke Plasma Nutfah. Kawasan Plasma nutfah adalah kawasan yang sengaja dilindungi untuk menjaga keanekaragaman hayati daerah setempat. Setelah berjalan kurang lebih dua kilo masuk ke dalam kawasan plasma nutfah dengan kelerengan terjal, kami belum juga menemukan tanda-tanda kehadiran burung berbulu cantik ini. Akhirnya saya menyerah juga (cadangan napas terbatas ;-) ) dan memilih pulang. Sambl menunggu mobil jemputan, kami beristirahat di sebuah kali kecil dipinggir plasma nutfah, tetapi setelah hampir setengah jam menunggu, mobil jemputan tidak juga kunjung datang. Karena keadaan mendung dan kelihatannya hampir hujan, kamipun memutuskan untuk berjalan pelan-pelan. Berjalan dan berjalan hingga tak terasa kami telah berjalan hampir lima kilo, napas yang tadi telah terkumpul lagi saat istirahat di kali kecil seakan raib tiba-tiba. Capek banget, untung saja tak lama kemudian sebuah mobil akhirnya datang menjemput.

Selain main dan kerja, di Blino camp saya juga belajar memasak. Ajeng orangnya pintar sekali memasak, jadi aku sering belajar masak dari dia. Ya masak kecil-kecl saja, ayam bakar, ikan bakar, klepon, peyek, bubur mutiara, macem-macemlah. Lumayan nambah bekal buat jadi ibu nanti :-)


Hari-hari Penilaian PHPL oleh LPI

Hari Rabu tanggal 12 September 2008, tim LPI yang akan menilai kinerja PHPL di PT.BNI akirnya tiba di camp Blino km 75. Berbeda dengan LPI yang ada selama ini, kali ini Tim LPI berasal dari akademisi yakni dari IPB. Jadi bisa ditebak bahwa tim ini terdiri dari para dosen IPB. Tim ini terdiri dari 8 orang dengan lima orang diantaranya adalah para dosen IPB sedangkan 3 orang diantaranya adalah para asisten dosen. Sedikit keder juga ngadepin nich bapak2 dosen, bukannya apa2, kalo kayak begini, gak bisa kita kibulin seperli LPI yang lainnya.

Tanggal 12-14 adalah hari-hari penilaian oleh LPI. Penilaian oleh LPI mencakup 4 kriteria dan 16 indikator. Keempat criteria tersebut adalah Kriteria prasyarat, criteria produksi, criteria ekologi dan criteria social.
Kriteria prasyarat terdiri dari 6 indikator yakni kepastian kawasan, komitmen pemegang izin, kesehatan perusahaan, kesesuaian dengan kerangka hukum, tenaga kerja dan kapasitas dan mekanisme untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan periodik, evaluasi, dan penyajian umpan balik mengenai kemajuan pencapaian IUPHHK pada hutan alam.
Kriteria produksi terdiri dari 7 indikator yakni perencanan yang lestari, pemanenan yang lestari, Reduced Impact Logging, kesehatan financial pemegang izin, kuantitas hasil hutan kayu yang dipanen, dan tingkat investari dan reinvestasi.
Kriteria ekologi mencakup 6 indikator yakni: kawasan lindung, prosedur dan implementasi pengendalian perambahan, kebakaran,penggembalaan dan pembalakan illegal, prosedur dan implementasi pedoman pengelolaan flora untuk pemadatan tanah akibat alat-alat mekanis/berat dan erosi tanah, implementasi pedoman pengelolaan flora langka dan dilindungi dan implementasi pedoman pengelolaan fauna langka dan dilindungi.
Kriteria social terdiri dari 5 kriteria yakni Batas kawasan, jenis dan jumlah perjanjian dgn masyarakat, Ketersediaan mekanisme dan implementasi pendistribusian insentif yang efektif, serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak. dan perencanaan yang mempertimbangkan hak masyarakat, peran serta masyarakat.

Kami masing-masing mendapat tanggung jawab pada salah satu dari keempat criteria di atas. Kriteria prasyarat merupakan tanggung jawab pa Subroto, criteria produksi menjadi tanggung jawab pa Sembiring dan Pa Haryanto, criteria ekologi menjadi tanggung jawab saya dan pa Thomas. Tadinya saya bertanggung jawab terhadap criteria social, tetapi karena criteria social dianggap sudah cukup baik, maka criteria ini hanya dipercayakan kepada pa Awang, sedangkan saya kemudian membantu pa Thomas di aspek ekologi.

Pada hari pertama penilaian yakni pada tanggal 12 september, Tim ini menilai ke blok, dan petak ukur permanen, sedangkan 3 orang asisten yang termasuk dalam tim LPI melakukan flying camp untuk inventarisasi. Mereka dibagi ke dalam tiga kelompok dan masing-masing kelompok didampingi oleh pa Awang Nofri, Pa Sembiring dan Pa Haryanto. Tim Awang Nofri melakukan cross chec inventarisasi di blok RKT 2008, Pa Sembiring di Blok bekas tebangan 2007 dan Pa haryanto di kawasan virgin forest (rencana blok RKT 2008).

Penilaian oleh team LPI ini, ternyata dapat berjalan mulus tanpa ada kesulitan yang berarti. Walau masih ada sedikit kekurangan, tetapi kami yakin hasil penilaian akan baik, minimal cukup.

Bertemu Orang Dayak

Sejak dari masa kuliah, saya sangat tertarik dengan kebudayaan masyarakat dayak. Makanya saya sangat senang saat memiliki kesempatan sedikit mengenal suku yang satu ini. Oya Areal kerja PT.BNI termasuk dalam kawasan adat suku dayak punan. Suku ini baru direlokasi pada tahun 1970an ke desa Tubok yang masuk dalam wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara.
Karena wilayah BNI masuk dalam wilayah adat suku dayak Punan, maka tidak heran kalau di dalam loksi PT BNI ini sering sekali kita menjumpai orang-orang dari suku ini. Walaupun telah direlokasi ke Desa obok, tetapi interaksi suku ini dengan hutan masih sangat tinggi. mereka mencari nafkah dengan berburu, mengayam rotan, mencari ikan dan berladang menetap disekitar rumah singgahSelain menjadi karyawan borongan dan harian di PT BNI,. persinggahan masyarakat Punan, yang disiapkan oleh perusahaan, dengan pertimbangan jauhnya jarak dari desaOya rumah singgah adalah sebuah rumah tempatTubok ke lokasi PT BNI sementara interaksi masyarakat dengan hutan sangatlah tinggi.

Bertemu orang-orang dayak ini sangatlah menyenangkan dan mereka rata-rata sangat ramah, seperti bapak-bapak atau Ibu-ibu yang rela saja ketika telinganya yang panjang-panjang saya pegang, atau anak-anak mudanya yang dengan ramahnya mengajak saya mincing atau jalan-jalan ke sungai. Selama berada di Blino camp, saya beberapa kali mengunjungi komunitas ini di rumah singgah.

Konsep rumah singgah ini mirip rumah panjang masyarakat dayak dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Rumah panggung ini terbuat dari papan dengan bentuk memanjang. bagian dalamnya berjejer kamar-kamar dengan hamparan tikar dan rotan sebagai tempat tidur. Rumah ini mengingatkan saya dengan rumah adat Gendang milik manggarai di Nusa Tenggara Timur, hanya saja rumah Gendang bentuknya bulat, berbeda dengan rumah singgah ini yang berbentuk persegi panjang. Di rumah singgah ini saya juga menyempatkan untuk melihat pembuatan anyaman-anyaman tikar dan daun rotan. Wah bagus-bagus dan keren-keren lho. Saya paling suka dengan anjat yakni tas-tas anyaman yang dibuat dengan berbagai bentuk. Harga anyaman-anyaman ini bervariasi tergantung kesulitan dan ukurannya. untuk anjat ukuran sedang seperti yang saya pakai dihargai Rp.100.000,-, tapi percayalah kita tidak akan merasa rugi begitu melihar bagusnya anyaman tangan-tangan Punan ini. Saya juga tertarik dengan anyaman rotan yang dibuatkan menjadi karpet. Bagus banget lho, halus, enak banget buat tidur2an sambil nonton tv, harganya dijual berdasarkan panjangnya, yakni perjengkal tangan adalah Rp.50.000,-.

Di sekitar rumah singgah ini, mereka menanam tanaman musiman seperti sayur-sayuran, jagung, juga tanaman buah-buahan. Hasil tanaman musiman ini selain dipergunakan untuk konsumsi sehari-hari juga dijual ke kantin atau karyawan PT BNI.
Ada banyak hal-hal baru yang saya temui ketika bergaul dengan suku keturunan Mongol ini. Bertelinga panjang dan kebiasaan memakai batu-batu manik ternyata bukanlah kebiasaan semua suku dayak, begitupun halnya dengan keterampilan yang mereka miliki. Ternyata tidak semua suku dayak memiliki keterampilan menganyam rotan.

Seperti yang saya uraikan di atas, kehidupan masyarakat punan sangat dekat dengan alamnya. Alam menyediakan apa yang mereka butuhkan untuk kehidupan mereka sehari-hari, bahkan lebih dari yang mereka butuhkan sehari-hari. Sayangnya, apa yang disediakan alam mereka itu tidak dapat mereka nikmati sepenuhnya, hanya segelintir orang dari kaumnya sendiri yang menikmatinya. Hutan mereka punya, sarang burung wallet mereka punya, tetapi anak-anak mereka masih sulit mengenyam pendidikan karena kurangnya biaya. Cerita sedih yang banyak terjadi dimana-mana.


Milir-milir-milir
Kurang lebih sebulan menjadi warga sungai Blino, akhirnya selesai juga penilaian PHPL oleh team LPI dan tibalah saatnya kami milir ke Samarinda. Oya milir artinya meng-hilir, kata ini biasanya dipakai kalau seseorang akan pulang ke Samarinda, atau juga biasa dipakai oleh pengusaha kayu untuk mengistilahkan pengangkutan kayu dari logpond ke industri pengolahan selanjutnya.

Pada senin tanggal 17 September 2007 kamipun kemudian menghilir ke Samarinda. Kalau ketika datang dari Samarinda kami menggunakan jalur darat Samarinda-Kota baru, kemudian dilanjutkan perjalanan sungai dari Kota baru-Melak-Camp Medang, desa Mamahak kecamatan Long bagun, maka ketika milir kami mengambil route sungai Camp Medang Mamahak-Melak dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat Melak-Samarinda. Route ini sengaja kami pilih karena kami ingin memanjakan mata kami dengan pemandangan sepanjang perjalanan Melak ke Samarinda. Walaupun melelahkan karena memakan waktu sekitar 5 jam, tetapi perjalanan ini sangatlah menyenangkan. Sepanjang jalan mata kami benar-benar dimanjangkan dengan eksotika pemandangan alam Kalimantan.

Jam berbuka puasa, kami menyempatkan untuk berbuka di Tenggarong Kutai Kertanegara.

Di masa lalu, kota ini menjadi pusat kerajaan Kutai Kertanegara. Kota Tenggarong adalah kota yang luar biasa. Pembangunannya sangat maju. Kota ini memang memiliki kekayaan alam yang sangat banyak, yang menjadikannya salah satu kabupaten terkaya di Indonesia. Setelah berbuka puasa, kami menyempatkan untuk berputar-putar sebentar di kota ini. Jam 20.30 waktu setempat, kami lalu melanjutkan kembali perjalanan kami ke Samarinda. Setelah menempuh waktu sekitar 30 menit, pada jam 21.00, Samarindapun kembali menyambut kami dengan kehangatan.


Menikmati Samarinda
Setelah tiba kembali di Samarinda, tibalah waktunya kami benar-benar menikmati kota samarinda. Mulai dari menikmati berbagai makanannya, juga berburu oleh-oleh.
Saya sendiri paling banyak berburu pernak-pernik dan kain songket Samarinda. Menikmati Samarinda memang luar biasa rasanya, duduk sore-sore di pinggir sungai Mahakam sambil menikmati duren yang cuma Rp.5.000 perak perbuahnya ;-)





Pulang ke Manado
Akhirnya waktu bersenang-senang itu selesai. Tugas kembali memanggil saya kembali ke habitat asli. Tanggal 27 September saya, Pa Thomas dan Pa Broto kembali ke Manado dan pada hari yang samapun Pa Sembiring dan Pa Haryanto kembali ke Banjarmasin. Puas banget rasanya sudah menyusuri sungai Mahakam, yah walaupun saya hanya bisa menyusurinya sampai Camp Medang, Long Bagun. Suatu hari nanti, ingin rasanya saya bisa kembali ke daerah ini, kembali dapat menyusuri Mahakam, saya sangat ingin mencapai hulu Mahakam dan tidur di Lamin, rumah panjang suku Dayak, Semoga saja, Amin.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Kamu tuh nggak takut apa, cewek sendirian masuk2 hutan. Temannya bapak2 semua, nggak takut diapa-apain di tengah hutan...

Margaretha mengatakan...

ya nggalah...jangan dibayangkan bahwa dalam utan itu cuma aku dan bapak2 itu...camp dalam utan itu biasanya seperti pemukiman kecil, jadi rame lah..lagian kan ada satpamnya jadi aman...

Margaretha mengatakan...

ya nggalah...jangan dibayangkan bahwa dalam utan itu cuma aku dan bapak2 itu...camp dalam utan itu biasanya seperti pemukiman kecil, jadi rame lah..lagian kan ada satpamnya jadi aman...

Anonim mengatakan...

Perjalanan panjang yah Tha.....ICU