Pernahkah anda berjalan-jalan ke Kabupaten Manggarai, daerah terbarat Pulau Flores propinsi Nusa tenggara Timur? Kalau iya, anda mungkin pernah melihat bentuk persawahan seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar di atas adalah bentuk lahan lodok lingko. Lingko adalah tanah komunal milik suatu beo atau kampung. Lingko dapat berupa kebun yang sedang dikerjakan orang, ataupun hutan yang belum pernah atau sudah pernah dijadikan kebun. Jika ada lingko yang hendak dijadikan kebun maka pembagiannya dilakukan menurut suatu system yang disebut Lodok Lingko, dimana sebuah lingko dibuat seperti jaring laba-laba raksasa seperti terlihat pada gambar di atas.
System lodok lingko berkaitan dengan tradisi perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Manggarai pada masa lalu, sehingga merupakan suatu system mata pencaharian masyarakat. Sesudah empat atau lima tahun mereka mengelola sebuah lingko, lingko tersebut dibiarkan menghutan kembali lalu pindah ke lingko lain untuk melakukan lodok lingko kembali. Selain sebagai sebuah system mata pencaharian, lodok lingko juga merupakan sebuah pranata kebudayaan karena dalam system lodok lingko tersebut terkandung berbagai nilai-nilai kebudayaan masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya.
Untuk lebih mengenal system lodok lingko, dibawah ini akan saya uraikan bagaimana tata cara pembagian sebuah lingko menurut system lodok lingko :
1. Lonto Leok (musyawarah) di Mbaru Gendang (rumah adat)
Pembagian lingko ini dipimpin langsung oleh seorang tu’a teno atau pemimpin adat yang mengurusi pembagian tanah. Di Manggarai, pemimpin adat terdiri dari tu’a golo dan tu’a teno. Tu’a golo bertugas untuk mengatur tata kehidupan dalam masyarakat secara keseluruhan sedangkan tu’a teno mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah termasuk mengurusi pembagian lahan komunal lingko. Kepemimpinan tu’a golo ataupun tu’a teno bersifat turun temurun.
Sebelum dilakukan pembagian lingko, terlebih dahulu diadakan musyawarah di dalam mbaru gendang yang dipimpin oleh seorang tu’a teno. Musyawarah ini diikuti oleh seluruh warga kampung, dalam hal ini hanya laki-laki dewasa. Budaya Manggarai menganut system patrilinear. Perempuan disebut ata peang (ata=orang; peang=luar) yakni orang yang akan keluar dari keluarga karena akan mengikuti suaminya, sedangkan laki-laki disebut ata one (ata=orang;one=dalam) yakni orang yang berada dalam struktur keluarga dan meneruskan keturunan. Dampaknya terjadi subordinasi perempuan dalam hubungannya dengan adat. Perempuan tidak diberi warisan apapun, tidak mendapat bagian dalam pembagian lahan komunal lingko dan perempuan juga tidak memiliki hak untuk memberikan pendapat dalam suatu musyawarah atau lonto leok. Perempuan lebih dominan dalam melakukan kegiatan-kegiatan domestik seperti memasak dan mengurus rumah tangga. Posisi anak-anak (dibawah 15 tahun) hampir sama dengan perempuan.
Dalam lonto leok tersebut tu’a teno mengutarakan rencana membuka kebun baru dan bila disetujui tempatnya oleh seluruh warga maka ditentukan waktu pelaksanaan lodok lingko.
2. Tudak Manuk (tudak=doa; manuk =ayam)
Pada hari yang telah ditentukan untuk melaksanakan lodok lingko, semua warga berkumpul di dalam rumah adat untuk mengadakan tudak manuk. Tudak manuk dimaksudkan untuk memohon penyertaan Mori Jari dedek (Tuhan sang pencipta) dan pemberitahuan kepada para arwah nenek moyang (pa’ang be le) tentang niat untuk membuka kebun baru agar tidak terjadi hambatan selama upacara dilakukan. Tudak ini dilakukan berkaitan dengan kepercayaan Masyarakat akan adanya wujud tertinggi di dalam kehidupan dan bahwa para leluhur turut mempengaruhi kehidupan mereka di dunia.
Pertama-tama tua teno mengucapkan tudak, kemudian seekor ayam disembelih. Setelah disembelih, dilakukan toto urat. Toto urat adalah sebuah cara meramal tradisional orang Manggarai yakni dengan melihat tanda-tanda pada usus ayam atau binatang kurban. Dengan melihat tanda-tanda pada usus ayam tersebut, seorang tu’a teno biasanya mengetahui apakah tudak yang telah disampaikan diterima atau tidak oleh Tuhan dan direstui pula oleh para leluhur. Jika tanda-tanda yang dilihat pada usus ayam tersebut baik adanya dalam artian tudak atau doa yang telah disampaikan diterima oleh Tuhan dan direstui oleh para leluhur, maka acara kemudian dilanjutkan. Ayam tersebut kemudian dibakar dan diambil hatinya untuk dijadikan helang atau persembahan kepada para leluhur. Sebelum helang, dilakukan pula doa atau tudak. Setelah tudak baru kemudian helang tersebut disajikan bersama nasi, ci’e (garam) dan tuak. Setelah tudak manuk ini, tu’a teno bersama para warga berangkat menuju lokasi lingko yang telah disepakati diiringi bunyi gong dan gendang (alat musik tradisional Manggarai).
3. Setibanya di lokasi lingko, tu’a teno berunding dengan tu’a kilo (pemimpin sebuah keluarga besar) dan tu’a panga (pemimpin sebuah sub clan) untuk menentukan pusat lodok dan batas terluar lodok yang disebut cicing. Ukuran lodok yang akan dibuka tergantung kepada berapa banyak anggota masyarakat yang akan memperoleh bagian dalam lahan komunal tersebut.
4. Pemberian sirih pinang dan tuak kepada para leluhur
Setelah penentuan pusat dan batas luar lodok, kemudian dilakukan pemberian sirih pinang dan tuak kepada para leluhur. Tu’a teno, tu’a kilo dan tu’a panga juga ikut mengunyah sirih pinang. Tu’a teno kemudian meludah ke sebatang patok yang akan ditancapkan di pusat lodok. Patok yang digunakan sebagai menjadi pusat lodok merupakan patok dari kayu teno atau dalam bahasa latin disebut Melochia arborea. Melochia arborea termasuk dalam famili Sterculiaceae, dengan nama daerah betenuh (Palembang), jubut/lesmu/wesnu (Jawa), bintenu (Bali), kuhutu (Ternate) dan Busi (Timor). Pohon ini tersebar di seluruh Nusantara, di banyak daerah dataran rendah hingga ketinggian 1700 mdpl. Pembiakannya dengan biji dan tidak banyak tuntutan terhadap tanah dan iklim, dapat hidup di tanah yang kurang subur sekalipun serta pertumbuhannya sangat cepat. Karena sifat yang dimilikinya, masyarakat Manggarai meyakini bahwa pohon ini dihuni oleh roh alam yang disebut teno. Roh ini dipercaya sebagai pemberi kesuburan pada tanah. Karena itu pula, nama pohon ini dijadikan nama pemimpin adat yang mengurusi tanah yakni tu’a teno dan kayu pohon teno ini dipakai sebagai patok penanda pusat lodok dalam pembagian lahan lodok lingko.
Setelah meludah patok tersebut, kemudian oleh tu’a teno patok itu digunakan untuk mencungkil tanah sebanyak lima kali di pusat lodok sebagai symbol untuk membuang kejelekan dari tanah. Tu’a teno kemudian menancapkan kayu teno di pusat lodok. Dalam bahasa Manggarai, kegiatan menancapkan kayu teno di pusat lodok disebut tente teno.
5. Di sekeliling kayu teno tersebut kemudian diletakkan tali berbentuk lingkaran dan disekeliling lingkaran tersebut ditancapkan lanca atau patok dari kayu-kayu kecil. Jarak antara lanca yang satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan besarnya moso atau jari tangan tu’a teno yang ditempelkan di atas tanah. Ada berbagai ukuran moso yakni :
• Moso kina (ukuran selebar jempol) untuk tu’a teno
• Moso lime toso (ukuran selebar telunjuk) untuk kepala keluarga yang memiliki anggota keluarga berjumlah sedang
• Ukuran moso kinde (ukuran selebar kelingking) untuk pemuda dan bukan penduduk asli
Pendatang atau bukan penduduk asli suatu kampung juga bisa memperoleh bagian dalam pembagian sebuah lingko dengan persetujuan seorang tu’a teno, biasanya dengan memberikan persyaratan berupa tuak dan seekor ayam.
Tu’a teno memperoleh moso dengan luasan yang lebih besar sesuai dengan kewajibannya untuk memberikan contoh yang baik dalam memelihara system bercocok tanam lodok.
6. Di luar lanca-lanca tersebut kembali diletakkan tali berbentuk lingkaran dan ditancapkan lanca-lanca kembali, tegak lurus dengan lanca pada lingkaran pertama dan tegak lurus dengan kayu teno di pusat lodok.
7. Lanca atau patok kemudian ditancapkan sampai pada batas terluar lodok atau yang disebut cicing. Setelah itu dibuat langang atau batas samping atau batas antar moso dengan menghubungkan lanca yang satu dengan lainnya menggunakan tali yang direntangkan lurus keluar membentuk garis jari-jari yang simetris, maka kemudian terciptalah bentuk lodok seperti kita lihat pada gambar di bawah ini :
8. Jika dalam pembagian lingko tersebut, ada bagian lingko yang tidak masuk dalam lingkaran, maka bagian tersebut diperuntukkan bagi tu’a teno atau anggota masyarakat biasa dengan persetujuan tu’a teno. Apabila lingkaran yang dibuat juga terhalang oleh bentang alam seperti sungai atau jurang, maka pembagiannya tidak dibuat dalam satu lingkaran penuh tetapi dalam bentuk setengah lingkaran.
9. Setelah pembagian lingko selesai, maka tu’a teno dan masyarakat kemudian kembali ke rumah adat sambil membunyikan gong dan gendang.
Karena pembagian lingko ini berkaitan dengan system perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Manggarai pada masa lampau, maka setelah pembagian lingko tersebut selesai, biasanya dirundingkan pula waktu pelaksanaan kegiatan menebas, menebang dan membakar lahan. Kegiatan menebas dan menebang biasanya dilakukan 1 atau 2 hari setelah pembagian lingko dan dilakukan masing-masing oleh pemilik lahan, sedangkan kegiatan membakar dilakukan setelah kurang lebih sebulan setelah menebas dan menebang dan dilakukan bersama-sama. Penentuan hari pelaksanaan pembakaran disesuaikan dengan suhu dan kecepatan angin. Setelah menebas, menebang dan membakar dilanjutkan dengan kegiatan menanam dan puncaknya adalah upacara penti yakni pesta syukuran panen. Semua kegiatan di atas dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun. Kegiatan lodok lingko biasanya dimulai pada bulan Agustus atau September dan puncaknya adalah kegiatan penti pada bulan Juli atau Agustus.
Mungkin kita bertanya mengapa sebuah lingko harus dibagi menggunakan system lodok lingko, dimana bentuknya seperti lingkaran jaring laba-laba raksana. Dengan pembagian menggunakan system ini, akan tercipta keadilan karena setiap warga mendapatkan besaran lahan yang sama. Selain itu, menurut kebudayaan Manggarai, bentuk lingkaran melambangkan rasa persatuan dan kesatuan antara seluruh masyarakat. Bentuk lingkaran tidak hanya dijumpai pada bentuk lodok, tetapi juga bentuk perkampungan di Manggarai yang berbentuk lingkaran, compang atau tempat meletakkan persembahan bagi leluhur yang berada di tengah-tengah perkampungan yang juga berbentuk lingkaran, juga rumah adat (mbaru gendang) yang berbentuk lingkaran.
Seiring dengan tidak dipraktekkannya kembali system perladangan berpindah di Manggarai, lodok lingko sebagai sebuah system mata pencaharian maupun sebagai pranata kebudayaan masyarakat telah memudar. Walaupun demikian, bentuk lodok lingko masih dapat kita temui di kampung-kampung di Manggarai baik pada lahan persawahan maupun pada lahan tanah kering. Hanya saja, jika di persawahan bentuk lodok dapat terlihat dengan jelas, pada lahan tanah kering bentuk lodok tertutup oleh kanopi tanaman.
Dan jika anda berkesempatan datang ke Manggarai, akan rugi rasanya jika anda tidak menyempatkan diri melihat model lahan yang hanya satu-satunya di dunia ini.
Gambar di atas adalah bentuk lahan lodok lingko. Lingko adalah tanah komunal milik suatu beo atau kampung. Lingko dapat berupa kebun yang sedang dikerjakan orang, ataupun hutan yang belum pernah atau sudah pernah dijadikan kebun. Jika ada lingko yang hendak dijadikan kebun maka pembagiannya dilakukan menurut suatu system yang disebut Lodok Lingko, dimana sebuah lingko dibuat seperti jaring laba-laba raksasa seperti terlihat pada gambar di atas.
System lodok lingko berkaitan dengan tradisi perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Manggarai pada masa lalu, sehingga merupakan suatu system mata pencaharian masyarakat. Sesudah empat atau lima tahun mereka mengelola sebuah lingko, lingko tersebut dibiarkan menghutan kembali lalu pindah ke lingko lain untuk melakukan lodok lingko kembali. Selain sebagai sebuah system mata pencaharian, lodok lingko juga merupakan sebuah pranata kebudayaan karena dalam system lodok lingko tersebut terkandung berbagai nilai-nilai kebudayaan masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya.
Untuk lebih mengenal system lodok lingko, dibawah ini akan saya uraikan bagaimana tata cara pembagian sebuah lingko menurut system lodok lingko :
1. Lonto Leok (musyawarah) di Mbaru Gendang (rumah adat)
Pembagian lingko ini dipimpin langsung oleh seorang tu’a teno atau pemimpin adat yang mengurusi pembagian tanah. Di Manggarai, pemimpin adat terdiri dari tu’a golo dan tu’a teno. Tu’a golo bertugas untuk mengatur tata kehidupan dalam masyarakat secara keseluruhan sedangkan tu’a teno mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah termasuk mengurusi pembagian lahan komunal lingko. Kepemimpinan tu’a golo ataupun tu’a teno bersifat turun temurun.
Sebelum dilakukan pembagian lingko, terlebih dahulu diadakan musyawarah di dalam mbaru gendang yang dipimpin oleh seorang tu’a teno. Musyawarah ini diikuti oleh seluruh warga kampung, dalam hal ini hanya laki-laki dewasa. Budaya Manggarai menganut system patrilinear. Perempuan disebut ata peang (ata=orang; peang=luar) yakni orang yang akan keluar dari keluarga karena akan mengikuti suaminya, sedangkan laki-laki disebut ata one (ata=orang;one=dalam) yakni orang yang berada dalam struktur keluarga dan meneruskan keturunan. Dampaknya terjadi subordinasi perempuan dalam hubungannya dengan adat. Perempuan tidak diberi warisan apapun, tidak mendapat bagian dalam pembagian lahan komunal lingko dan perempuan juga tidak memiliki hak untuk memberikan pendapat dalam suatu musyawarah atau lonto leok. Perempuan lebih dominan dalam melakukan kegiatan-kegiatan domestik seperti memasak dan mengurus rumah tangga. Posisi anak-anak (dibawah 15 tahun) hampir sama dengan perempuan.
Dalam lonto leok tersebut tu’a teno mengutarakan rencana membuka kebun baru dan bila disetujui tempatnya oleh seluruh warga maka ditentukan waktu pelaksanaan lodok lingko.
2. Tudak Manuk (tudak=doa; manuk =ayam)
Pada hari yang telah ditentukan untuk melaksanakan lodok lingko, semua warga berkumpul di dalam rumah adat untuk mengadakan tudak manuk. Tudak manuk dimaksudkan untuk memohon penyertaan Mori Jari dedek (Tuhan sang pencipta) dan pemberitahuan kepada para arwah nenek moyang (pa’ang be le) tentang niat untuk membuka kebun baru agar tidak terjadi hambatan selama upacara dilakukan. Tudak ini dilakukan berkaitan dengan kepercayaan Masyarakat akan adanya wujud tertinggi di dalam kehidupan dan bahwa para leluhur turut mempengaruhi kehidupan mereka di dunia.
Pertama-tama tua teno mengucapkan tudak, kemudian seekor ayam disembelih. Setelah disembelih, dilakukan toto urat. Toto urat adalah sebuah cara meramal tradisional orang Manggarai yakni dengan melihat tanda-tanda pada usus ayam atau binatang kurban. Dengan melihat tanda-tanda pada usus ayam tersebut, seorang tu’a teno biasanya mengetahui apakah tudak yang telah disampaikan diterima atau tidak oleh Tuhan dan direstui pula oleh para leluhur. Jika tanda-tanda yang dilihat pada usus ayam tersebut baik adanya dalam artian tudak atau doa yang telah disampaikan diterima oleh Tuhan dan direstui oleh para leluhur, maka acara kemudian dilanjutkan. Ayam tersebut kemudian dibakar dan diambil hatinya untuk dijadikan helang atau persembahan kepada para leluhur. Sebelum helang, dilakukan pula doa atau tudak. Setelah tudak baru kemudian helang tersebut disajikan bersama nasi, ci’e (garam) dan tuak. Setelah tudak manuk ini, tu’a teno bersama para warga berangkat menuju lokasi lingko yang telah disepakati diiringi bunyi gong dan gendang (alat musik tradisional Manggarai).
3. Setibanya di lokasi lingko, tu’a teno berunding dengan tu’a kilo (pemimpin sebuah keluarga besar) dan tu’a panga (pemimpin sebuah sub clan) untuk menentukan pusat lodok dan batas terluar lodok yang disebut cicing. Ukuran lodok yang akan dibuka tergantung kepada berapa banyak anggota masyarakat yang akan memperoleh bagian dalam lahan komunal tersebut.
4. Pemberian sirih pinang dan tuak kepada para leluhur
Setelah penentuan pusat dan batas luar lodok, kemudian dilakukan pemberian sirih pinang dan tuak kepada para leluhur. Tu’a teno, tu’a kilo dan tu’a panga juga ikut mengunyah sirih pinang. Tu’a teno kemudian meludah ke sebatang patok yang akan ditancapkan di pusat lodok. Patok yang digunakan sebagai menjadi pusat lodok merupakan patok dari kayu teno atau dalam bahasa latin disebut Melochia arborea. Melochia arborea termasuk dalam famili Sterculiaceae, dengan nama daerah betenuh (Palembang), jubut/lesmu/wesnu (Jawa), bintenu (Bali), kuhutu (Ternate) dan Busi (Timor). Pohon ini tersebar di seluruh Nusantara, di banyak daerah dataran rendah hingga ketinggian 1700 mdpl. Pembiakannya dengan biji dan tidak banyak tuntutan terhadap tanah dan iklim, dapat hidup di tanah yang kurang subur sekalipun serta pertumbuhannya sangat cepat. Karena sifat yang dimilikinya, masyarakat Manggarai meyakini bahwa pohon ini dihuni oleh roh alam yang disebut teno. Roh ini dipercaya sebagai pemberi kesuburan pada tanah. Karena itu pula, nama pohon ini dijadikan nama pemimpin adat yang mengurusi tanah yakni tu’a teno dan kayu pohon teno ini dipakai sebagai patok penanda pusat lodok dalam pembagian lahan lodok lingko.
Setelah meludah patok tersebut, kemudian oleh tu’a teno patok itu digunakan untuk mencungkil tanah sebanyak lima kali di pusat lodok sebagai symbol untuk membuang kejelekan dari tanah. Tu’a teno kemudian menancapkan kayu teno di pusat lodok. Dalam bahasa Manggarai, kegiatan menancapkan kayu teno di pusat lodok disebut tente teno.
5. Di sekeliling kayu teno tersebut kemudian diletakkan tali berbentuk lingkaran dan disekeliling lingkaran tersebut ditancapkan lanca atau patok dari kayu-kayu kecil. Jarak antara lanca yang satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan besarnya moso atau jari tangan tu’a teno yang ditempelkan di atas tanah. Ada berbagai ukuran moso yakni :
• Moso kina (ukuran selebar jempol) untuk tu’a teno
• Moso lime toso (ukuran selebar telunjuk) untuk kepala keluarga yang memiliki anggota keluarga berjumlah sedang
• Ukuran moso kinde (ukuran selebar kelingking) untuk pemuda dan bukan penduduk asli
Pendatang atau bukan penduduk asli suatu kampung juga bisa memperoleh bagian dalam pembagian sebuah lingko dengan persetujuan seorang tu’a teno, biasanya dengan memberikan persyaratan berupa tuak dan seekor ayam.
Tu’a teno memperoleh moso dengan luasan yang lebih besar sesuai dengan kewajibannya untuk memberikan contoh yang baik dalam memelihara system bercocok tanam lodok.
6. Di luar lanca-lanca tersebut kembali diletakkan tali berbentuk lingkaran dan ditancapkan lanca-lanca kembali, tegak lurus dengan lanca pada lingkaran pertama dan tegak lurus dengan kayu teno di pusat lodok.
7. Lanca atau patok kemudian ditancapkan sampai pada batas terluar lodok atau yang disebut cicing. Setelah itu dibuat langang atau batas samping atau batas antar moso dengan menghubungkan lanca yang satu dengan lainnya menggunakan tali yang direntangkan lurus keluar membentuk garis jari-jari yang simetris, maka kemudian terciptalah bentuk lodok seperti kita lihat pada gambar di bawah ini :
8. Jika dalam pembagian lingko tersebut, ada bagian lingko yang tidak masuk dalam lingkaran, maka bagian tersebut diperuntukkan bagi tu’a teno atau anggota masyarakat biasa dengan persetujuan tu’a teno. Apabila lingkaran yang dibuat juga terhalang oleh bentang alam seperti sungai atau jurang, maka pembagiannya tidak dibuat dalam satu lingkaran penuh tetapi dalam bentuk setengah lingkaran.
9. Setelah pembagian lingko selesai, maka tu’a teno dan masyarakat kemudian kembali ke rumah adat sambil membunyikan gong dan gendang.
Karena pembagian lingko ini berkaitan dengan system perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Manggarai pada masa lampau, maka setelah pembagian lingko tersebut selesai, biasanya dirundingkan pula waktu pelaksanaan kegiatan menebas, menebang dan membakar lahan. Kegiatan menebas dan menebang biasanya dilakukan 1 atau 2 hari setelah pembagian lingko dan dilakukan masing-masing oleh pemilik lahan, sedangkan kegiatan membakar dilakukan setelah kurang lebih sebulan setelah menebas dan menebang dan dilakukan bersama-sama. Penentuan hari pelaksanaan pembakaran disesuaikan dengan suhu dan kecepatan angin. Setelah menebas, menebang dan membakar dilanjutkan dengan kegiatan menanam dan puncaknya adalah upacara penti yakni pesta syukuran panen. Semua kegiatan di atas dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun. Kegiatan lodok lingko biasanya dimulai pada bulan Agustus atau September dan puncaknya adalah kegiatan penti pada bulan Juli atau Agustus.
Mungkin kita bertanya mengapa sebuah lingko harus dibagi menggunakan system lodok lingko, dimana bentuknya seperti lingkaran jaring laba-laba raksana. Dengan pembagian menggunakan system ini, akan tercipta keadilan karena setiap warga mendapatkan besaran lahan yang sama. Selain itu, menurut kebudayaan Manggarai, bentuk lingkaran melambangkan rasa persatuan dan kesatuan antara seluruh masyarakat. Bentuk lingkaran tidak hanya dijumpai pada bentuk lodok, tetapi juga bentuk perkampungan di Manggarai yang berbentuk lingkaran, compang atau tempat meletakkan persembahan bagi leluhur yang berada di tengah-tengah perkampungan yang juga berbentuk lingkaran, juga rumah adat (mbaru gendang) yang berbentuk lingkaran.
Seiring dengan tidak dipraktekkannya kembali system perladangan berpindah di Manggarai, lodok lingko sebagai sebuah system mata pencaharian maupun sebagai pranata kebudayaan masyarakat telah memudar. Walaupun demikian, bentuk lodok lingko masih dapat kita temui di kampung-kampung di Manggarai baik pada lahan persawahan maupun pada lahan tanah kering. Hanya saja, jika di persawahan bentuk lodok dapat terlihat dengan jelas, pada lahan tanah kering bentuk lodok tertutup oleh kanopi tanaman.
Dan jika anda berkesempatan datang ke Manggarai, akan rugi rasanya jika anda tidak menyempatkan diri melihat model lahan yang hanya satu-satunya di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar