Kemarin sore, saya nonton caci di kampung lawir, kebetulan disana sedang berlangsung rangkaian pesta syukuran panen penti. sayang kamera saya ketinggalan, jadinya hanya bisa menjepret dengan HP.
Setelah melewati suatu musim tanam, masyarakat manggarai biasanya melakukan pesta penti, untuk mensyukuri hasil panen yang diperoleh, sekaligus juga untuk memasuki musim tanam yang baru. Pesta penti merupakan serangkaian acara yang dilaksanakan selama beberapa hari yang terdiri dari rangkaian upacara :
1. Barong wae teku yakni upacara pemberian persembahan di sumber mata air kampung
2. Barong compang yakni upacara pemberian persembahan di compang yang terletak di tengah tengah kampung
3. Upacara libur kilo yakni pemberian persembahan dalam setiap keluarga (kilo)
4. Puncak upacara penti yakni syukuran bersama seluruh warga kampung di dalam mbaru gendang (rumah adat)
Selama berlangsungnya rangkaian upacara penti, di halaman kampung biasanya dilaksanakan tarian caci. Caci ini saya katakan sebagai tarian berkelahi karena dalam seni caci ini, 2 orang dari 2 kubu yang berbeda bertarung dengan saling mencambuki dalam sebuah seni yang unik.
Kata caci berasal dari gabungan kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti memaksa. Jadi caci bisa diartikan satu lawan satu. Caci biasanya dilakukan pada acara-acara adat tertentu, semisal pada saat penti, lodok lingko/membuka kebun baru, atau pada acara perkawinan. Seni caci ini biasanya dilaksanakan di halaman sebuah kampung yang dalam bahasa Manggarai disebut Natas dan hanya oleh kaum laki-laki dewasa, sedangkan perempuan biasanya kebagian peran untuk memukul gong dan gendang.
Para pemain caci memiliki pakaian dan kelengkapan tertentu, mulai dari pakaian adat songke (tanpa atasan/telanjang dada), larik atau cambuk, nggiling atau perisai, panggal atau semacam topi penutup kepala dan jonggo atau cadar penutup muka. Para pemain dibagi kedalam 2 kubu. Kedua kubu ini tidak boleh berasal dari kampung yang sama dan atau pemain sebuah kubu tidak boleh memiliki hubungan kekeluargaan dengan kubu yang lainnya.
Tarian atau permainan caci ini kemudian dimulai dengan saling mencambuk secara bergantian antara 2 orang atau satu lawan satu. Jika seorang mendapat giliran mencambuk maka yang satunya menangkis, demikianpun sebaliknya. Tidak semua bagian tubuh boleh dicambuki dalam permainan caci. Dari perut sampai kepala adalah bagian tubuh yang boleh dicambuki, sedangkan bagian tubuh lain jika terkena akan dianggap pelanggaran dan dikenakan sanksi tertentu oleh panitia caci. Sanksi dapat berupa teguran atau dikeluarkan dari permainan caci.
Selain saling mencambuk, para pemain caci ini juga menari atau congka sambil menyanyi atau biasa disebut lomes. Setelah seorang pemain caci menangkis cambukan lawan, biasanya dia akan menari dan bernyanyi sambil bertanya kepada penonton : asa ende ema ase kae, hena ko? (bagaimana bapak, ibu, saudara/I, apakah kena cambukannya?). dan pertanyaan itu harus dijawab : toe manga kenan (tidak kena) oleh para penonton, walaupun si pemain caci terkena cambukan. Para pemain cacipun dapat melakukan berbagai variai lomes lainnya.
Permainan caci ini tidak mengutamakan kubu mana yang menang ataupun kalah. Dalam caci inipun tidak ada sesuatu yang diperebutkan. Permainan ini hanya semata-mata untuk bergembira semata. Hanya saja ada sebuah prestise atau kebanggaan tersendiri bagi para pemain caci yang jarang terkena cambukan dan juga mampu melukai lawan apalagi di bagian muka.
Selama berlangsungnya caci, di halaman kampung itupun diadakan tarian yang dinamakan sanda. Sanda dapat diikuti oleh perempuan maupun laki-laki. Dalam sanda, beberapa orang membentuk sebuah lingkaran besar, dan bernyanyi serta melakukan gerakan tarian. dan kemarin tiu saya juga sempat ikutan sanda juga, wah sangat asyik, benar-benar meringankan segala kesumpekan dan penat ;-)
2 komentar:
ho hohoo o.. . . asyik e. ..
aku dah lama ga nonton caci lagi e
jadi pingin sekarang . .. .
aku biasanya suka pukul gendang kalo ada main caci....
makasih ya mampir..iya pas skali waktu kemarin pulang ke ruteng pas musim2 penti..
Posting Komentar