Ya, seberapa percaya anda pada sebuah ramalan?
Saya ingat pernah beberapa kali diramal orang. Tetapi ada tiga ramalan, di waktu dan tempat berbeda oleh tiga orang yang berbeda, yang masih saya ingat. Ketiga ramalan tersebut masih saya ingat karena isi ramalan ketiga orang tersebut sangatlah mirip.
Saya bertemu dengan peramal pertama ketika saya ke pulau Calabay di Nusa Tenggara Barat tahun 2002 silam. Peramal ini adalah seorang kakek-kakek suku Lombok. Oleh warga setempat, kakek yang saya lupa namanya ini dipercaya memiliki sebuah kelebihan untuk meramalkan masa depan melalui garis tangan. Oleh si kakek saya diramal mulai dari masalah kesehatan, karir, pendidikan juga jodoh he..(pastinya..!!). motivasi saya meramal, cuma sekedar iseng dan sedikit tertantang membuktikan pendapat orang tentang si kakek. Karena memang tidak percaya dengan ramalan, ramalan kakek itu saya anggap angin lalu. Ramalan si kakek tidak saya ingat-ingat sampai saya kemudian bertemu dengan peramal kedua.
Saya bertemu dengan peramal kedua tahun 2003 di Jogjakarta. Peramal kedua ini adalah seorang wanita yang kata orang-orang di sekitarnya pintar membaca garis tangan. Isi ramalan si ibu-ibu ini juga sangat mirip dengan ramalan yang pertama tadi. Heran juga sih, kok bisa-bisanya ya kedua peramal ini meramalkan nasib saya yang hampir sama, apa benar di tangan saya sudah tergambar nasib saya di kemudian hari sehingga sangat mudah bagi kedua peramal ini untuk membacanya??? Tapi tetap juga saya tidak ambil pusing, saya hanya sedikit kaget.
Trus peramal ketiga saya temui di Pulau Mangole tahun 2006 lalu. Lewat garis tangan juga, saya diramal dengan ramalan yang hampir sama. Wah..wah.. kok bisanya ya..??Kebetulan yang manis emang ya.
Saya bisa saja menjadi percaya karena kebetulan itu, tetapi dasarnya apa coba?
Meramal memang telah dikenal sejak jaman dahulu kala, ketika manusia berusaha menemukan penjelasan alamiah bagi perubahan-perubahan yang terjadi di alam. Meramal dikenal di berbagai belahan dunia dalam berbagai bentuknya. Orang gypsi dengan kartunya, orang china dengan pergerakan bintang-bintang. Ada satu cara meramal yang menurut saya unik, yakni cara meramal orang Manggarai Flores NTT yakni dengan toto kopi. Cara meramal ini dilakukan melalui segelas kopi. Setelah seseorang minum kopi, gelasnya ditelungkupkan hingga hanya tersisa ampas-ampas kopi yang membentuk suatu pola tertentu. Oleh peramal, pola tersebut kemudian “dibaca” sebagai ramalan nasib si peminum kopi.
Kembali ke pertanyaan saya di atas tadi, seberapa percaya kita pada sebuah ramalan?? Di sekitar kita sering kita temui orang yang sebegitu percayanya terhadap sebuah ramalan, terhadap apa kata zodiac, bahkan di tv sering sekali kita melihat iklan: Ketik Reg spasi weton untuk mengetahui nasib weton anda, atau iklan di media cetak : kunjungi klinik kami dan kami dapat merubah garis tangan anda. Waduh, masuk di akal gak sih, dan apa kaitannya coba garis tangan dan nasib seseorang, dan bagaimana dengan seseorang yang karena suatu kecelakaan garis tangannya berubah, apa nasibnya juga berubah?
ketika saya ngobrolin ini dengan temanku seorang muslim, katanya menurut kepercayaan mereka, ketika seseorang diciptakan oleh Allah, orang tersebut telah ditentukan jodoh dan rejekinya, tetapi itu semua misteri Allah dan tidak seorang manusiapun bisa mengetahuinya. Dan mempercayai ramalan adalah sebuah syirik. Saya juga ingat kata pastor Thomas, pastor paroki saya dulu di Gereja Santa Maria Immaculata Falabisahaya , Maluku Utara, percaya ramalan adalah mempercayai sesuatu yang sia-sia, karena tak ada dasarnya dalam kitab suci. Jostein Gaarder dalam Dunia Sophie, menulis bahwa seorang peramal berusaha untuk meramalkan sesuatu yang sesungguhnya tidak dapat diramalkan dan justru karena apa yang mereka “lihat” itu demikian kabur maka sulit untuk menyangkal apa yang dikatakan oleh sang peramal.
Jadi…, meramal lah jika hanya ingin bersenang-senang, tetapi jangan lalu mempercayainya, karena hanya Tuhan satu-satunya yang mengetahui bagaimana nasib seseorang. Dan teman, garis tangan, kartu,tanggal lahir, pergerakan bintang-bintang tidak menentukan bagaimana nasib kita di dunia. Nasib kita ditentukan oleh usaha tangan kita sendiri dan tentu saja campur tangan Tuhan di dalamnya.
Sabtu, 28 Maret 2009
Kamis, 26 Maret 2009
Earth Hour
Bisa jadi sebagian dari kita masih asing dengan Earth Hour yakni sebuah acara yang diadakan WWF untuk memerangi global warming dengan jalan mematikan listrik dan semua peralatan elektronik selama satu jam saja yakni mulai jam stengah Sembilan sampai jam stengah spuluh malam. Pada awalnya Earth Hour ini dilaksanakan di Sydney oleh WWF Australia pada tahun 2007 silam. Saat itu jutaan rumah warga maupun kantor-kantor mematikan listrik mereka untuk turut berpartisipasi memerangi global warming.
Tahun 2008, Earth Hour semakin meluas dan tidak hanya melibatkan warga Sydney tetapi kemudian berkembang ke berbagai Negara dan melibatkan 35 negara di seluruh dunia seperti Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Thailand dan Roma.
Di tahun 2009 ini, Earth Hour akan dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 28 Maret 2009 dengan target lebih dari satu milyar orang di lebih dari seribu kota di seluruh dunia. Mari kita ikut berpartisipasi di dalam gerakan ini dengan cukup mematikan listrik dan peralatan elektronik hanya satu jam saja dari pukul stengah Sembilan sampai stengah spuluh malam, tetapi kita sudah menyumbang banyak untuk mengurangi emisi karbon dan memerangi global warming.
Tahun 2008, Earth Hour semakin meluas dan tidak hanya melibatkan warga Sydney tetapi kemudian berkembang ke berbagai Negara dan melibatkan 35 negara di seluruh dunia seperti Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Thailand dan Roma.
Di tahun 2009 ini, Earth Hour akan dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 28 Maret 2009 dengan target lebih dari satu milyar orang di lebih dari seribu kota di seluruh dunia. Mari kita ikut berpartisipasi di dalam gerakan ini dengan cukup mematikan listrik dan peralatan elektronik hanya satu jam saja dari pukul stengah Sembilan sampai stengah spuluh malam, tetapi kita sudah menyumbang banyak untuk mengurangi emisi karbon dan memerangi global warming.
Kamis, 12 Maret 2009
Mencari Seorang Sahabat Yang Telah Lama Hilang
Sesuai judul postinganku di atas, saat ini aku memang sedang mencari seorang sahabat. Jangan dikira sahabatku ini adalah seorang yang seumuran denganku. Namanya Pascal, umurnya baru sekitar 12 tahun, anak Minahasa dengan ciri khas anak Minahasa umumnya: putih, hidung mancung, rambut lurus, kesimpulan: ganteng ;-). Pascal adalah sahabat kecilku yang pertama ketika dulu untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pulau Mangole Kabupaten Kepulauan Sula Propinsi Maluku Utara tahun 2005 silam. Pascal dan keluarganya juga tinggal di Mangole karena kedua orangtuanya bekerja di pulau itu.
Pertemuanku dengan pascal terjadi secara kebetulan di Gereja St.Maria Immaculata Falabisahaya, pusatnya pulau Mangole. Saat itu aku yang berjalan-jalan ke Gereja ngeliat seorang anak tuna wicara sedang berselisih paham dengan teman mainnya. Aku lalu mendekati anak-anak itu dan ternyata anak tuna wicara itu bernama pascal. Sejak itu aku mulai dekat dengan pascal, hampir setiap sore sepulang kerjaku dari kantor, dia yang kadang sendiri ataupun bersama teman-temannya, mendatangi aku di mess tempat tinggalku.
Keakraban kami tidak berlangsung lama. Di suatu sore, Pascal tiba-tiba datang ke messku sendirian. Kebeneran saat itu aku sedang akan pergi bersama teman-temanku, tetapi Pascal sangat memaksa untuk mengajak aku pergi bersamanya. Tetapi karena aku juga ada keperluan dengan teman-temanku, maka aku memberi pengertian kepada Pascal dan berjanji bahwa besok harinya baru aku akan pergi bersama dengannya. Pascal kemudianpun pergi dengan wajah kecewa yang sulit dilukiskan.
Keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya Pascal tidak pernah muncul kembali. Setelah aku cek keberadaannya, baru aku ketahui bahwa Pascal dan keluarganya telah pindah ke Minahasa, kampung asal kedua orang tuanya, tepat sehari setelah dia datang ke messku untuk terakhir kalinya itu dan tepat pada hari dimana aku berjanji untuk bertemu kembali dengannya. Wah bukan main perasaan menyesalku waktu itu, karena mungkin hari itu dia sangat ingin mengucap kata pamit, hanya saja itu sangat sulit dia ucapkan. Oya ibu Pascal memang pernah bercerita denganku, tentang rencananya untuk pindah ke Minahasa demi pendidikan Pascal yang lebih baik, karena di Falabisahaya tidak tersedia Sekolah Luar Biasa, jadi selama di sana Pascal sekolah di Sekolah Dasar biasa. Karenanya, kedua orang tua Pascal berencana pindah ke Minahasa agar Pascal bisa dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa.
Hingga saat ini aku tidak tau alamat Pascal dimana, orang-orang yang aku temui juga teman-temannya tidak ada yang mengetahui alamatnya di Minahasa. Pascal dimanapun kamu berada sekarang, aku pingin sekali bertemu denganmu dan kita bermain bersama lagi, dan aku pingin minta maap, karena waktu itu aku bener-bener tidak tau bahwa Pascal akan meninggalkan Mangole. Mizz u a lot, my lit’ friend…
Pertemuanku dengan pascal terjadi secara kebetulan di Gereja St.Maria Immaculata Falabisahaya, pusatnya pulau Mangole. Saat itu aku yang berjalan-jalan ke Gereja ngeliat seorang anak tuna wicara sedang berselisih paham dengan teman mainnya. Aku lalu mendekati anak-anak itu dan ternyata anak tuna wicara itu bernama pascal. Sejak itu aku mulai dekat dengan pascal, hampir setiap sore sepulang kerjaku dari kantor, dia yang kadang sendiri ataupun bersama teman-temannya, mendatangi aku di mess tempat tinggalku.
Keakraban kami tidak berlangsung lama. Di suatu sore, Pascal tiba-tiba datang ke messku sendirian. Kebeneran saat itu aku sedang akan pergi bersama teman-temanku, tetapi Pascal sangat memaksa untuk mengajak aku pergi bersamanya. Tetapi karena aku juga ada keperluan dengan teman-temanku, maka aku memberi pengertian kepada Pascal dan berjanji bahwa besok harinya baru aku akan pergi bersama dengannya. Pascal kemudianpun pergi dengan wajah kecewa yang sulit dilukiskan.
Keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya Pascal tidak pernah muncul kembali. Setelah aku cek keberadaannya, baru aku ketahui bahwa Pascal dan keluarganya telah pindah ke Minahasa, kampung asal kedua orang tuanya, tepat sehari setelah dia datang ke messku untuk terakhir kalinya itu dan tepat pada hari dimana aku berjanji untuk bertemu kembali dengannya. Wah bukan main perasaan menyesalku waktu itu, karena mungkin hari itu dia sangat ingin mengucap kata pamit, hanya saja itu sangat sulit dia ucapkan. Oya ibu Pascal memang pernah bercerita denganku, tentang rencananya untuk pindah ke Minahasa demi pendidikan Pascal yang lebih baik, karena di Falabisahaya tidak tersedia Sekolah Luar Biasa, jadi selama di sana Pascal sekolah di Sekolah Dasar biasa. Karenanya, kedua orang tua Pascal berencana pindah ke Minahasa agar Pascal bisa dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa.
Hingga saat ini aku tidak tau alamat Pascal dimana, orang-orang yang aku temui juga teman-temannya tidak ada yang mengetahui alamatnya di Minahasa. Pascal dimanapun kamu berada sekarang, aku pingin sekali bertemu denganmu dan kita bermain bersama lagi, dan aku pingin minta maap, karena waktu itu aku bener-bener tidak tau bahwa Pascal akan meninggalkan Mangole. Mizz u a lot, my lit’ friend…
Senin, 09 Maret 2009
Menggali Pesona Beo Lete
Gosong..song.. song..warna kulitku.. jadi kayak habis dibakar dalam oven, jadi gosong banget…Kemarin saya baru saja pulang dari kampungnya ajus di Beo Lete (beo=kampung : bahasa manggarai), Desa Beawaek, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Udah lama banget kan saya gak kesana, terakhir pas penelitian bulan Maret tahun 2004 dulu, jadi sudah skitar 5 tahun yang lalu.
Tanggal 3 Maret kemarin saya berangkat ke Beo Lete menggunakan mobil bersama-sama keluarga saya. Kebeneran keluarga saya mau ngadain acara adat Teing Hang di sana, jadilah kami beramai-ramai berangkat ke sana. Dari rumah kami berangkat jam stengah satu siang ke arah Barat kota Ruteng melewati desa Mano, desa Bajar, beo Beawaek dan beo Carang. Jam satu lewat 20 menit kami tiba di beo Carang. Beo Carang adalah kampung yang berbatasan langsung dengan beo Lete. Karena aspal jalan baru sampai di desa Carang, maka mobil yang kami pakai hanya kami kendarai sampai di beo Carang. Dari beo Carang kami lalu melanjutkan dengan berjalan kaki ke Beo Lete sekitar 15 menitan.
Jam dua kurang 15 menit, kami kemudian sampai di Beo Lete. Kampung ini masih juga tidak berubah sejak lima tahun yang lalu saya menginjaknya. Sepi, becek dengan penghuni yang sangat ramah. Oya karena nenek moyangnya kampung ini adalah buyutnya ajus, jadinya banyak banget keluarga ajus di kampung ini. Jadinya begitu kita sampai, banyak keluarganya yang datang ke rumah kakek saya untuk melepas kangen bersama kami semua.
Ngikut Acara Adat Teing Hang
Pada umumnya masyarakat Manggarai masih sering melakukan acara adat Teing Hang. Ini terkait dengan kepercayaan akan adanya campur tangan roh-roh nenek moyang maupun orang-orang yang telah meninggal (pa’ang be le)terhadap kehidupan, sehingga walaupun telah memeluk agama katholik, tetapi persembahan tetap pula diberikan kepada nenek moyang. Acara adat teing hang ini adalah salah satu acara yang dilakukan untuk memberikan persembahan kepada arwah nenek moyang. Biasanya acara ini dilakukan sebelum melakukan sebuah kegiatan tertentu misalnya sebelum pembagian lahan komunal lingko (lodok lingko) atau sebelum acara penti untuk meminta campur tangan dan bantuan para roh nenek moyang agar kegiatan yang akan dilakukan dapat berjalan lancar. Begitu pula halnya dengan acara Teing Hang yang kami lakukan, karena paman saya (adik ajus) akan melaksanakan sebuah kegiatan penting, maka kami sekeluarga besar mengadakan acara teing hang untuk meminta bantuan para arwah nenek moyang melancarkan kegiatan yang akan dilakukan paman saya tersebut.
Acara teing hang sebenarnya terbilang sederhana. Yang diperlukan hanyalah seeokor ayam jantan berwarna putih, tuak dan siri pinang. Acara ini biasanya dipimpin oleh seorang tua golo (pemimpin dalam sebuah kampung/beo).
Pertama-tama tua golo melakukan tudak (tudak=doa),kemudian ayam putih tersebut disembelih. Setelah sembelih, dilakukan apa yang dinamakan toto urat, yakni melihat tanda-tanda pada usus ayam, guna meramalkan kegiatan yang akan dilakukan, juga untuk mengetahui tudak yang telah disampaikan diterima oleh TYME dan direstui oleh para leluhur. Ini adalah semacam cara meramal tradisional orang Manggarai. Setelah toto urat, ayam kemudian dibakar. Hati ayam kemudian diambil untuk dipersembahkan kepada arwah nenek moyang.
Sebelum dipersembahkan ada tudaknya juga yang biasanya disebut tudak takung (doa persembahan). Setelah tudak takung baru kemudian persembahan (helang) yang berupa hati ayam tadi dicampuri sedikit garam dan disajikan bersama nasi,tuak dan sirih pinang. Mungkin kita bertanya dimanakah helang tersebut kemudian diletakkan? Helang tersebut hanya diletakkan di depan pemimpin acara dalam hal ini tua golo. Dalam kepercayaan masyarakat, bahwa dalam acara ini arwah para leluhur telah hadir bersama-sama dalam acara tersebut, sehingga persembahan diletakkan di tempat itu juga. Setelah acara helang ini, selesailah acar teing hang, biasanya dilanjutkan dengan makan dan minum bersama.
Oya, selama acara adat ini saya menemukan barang-barang budaya yang hampir punah di bumi Manggarai ini. Benda di bawah dinamakan lopa, sedangkan bagian dalamnya disebut tepak. Lopa ini terbuat dari kuningan dan digunakan sebagai tempat menyimpan sirih/pinang. Menurut cerita, lopa ini bukan merupakan hasil budaya orang Manggarai. Lopa ini berasal dari Gowa. Dahulu Manggarai merupakan daerah kekuasaan kesultanan Gowa. Nah, Lopa ini merupakan hasil barteran antara mayarakat Gowa dan penduduk asli. Lopa ini dibarterkan dengan seekor kerbau. Tidak diketahui secara pasti apakah nama Lopa merupakan nama yang diberikan oleh orang Manggarai atau oleh orang-orang Gowa sendiri. Selanjutnya oleh orang Manggarai Lopa ini digunakan sebagai tempat menyimpan sirih/pinang.
Yang terlihat pada gambar di atas adalah sebuah robo. Kalau Lopa berasal dari Gowa, namun robo merupakan hasil karya anak negri ;-). Robo ini adalah tempat menyimpan tuak. Melihat gambarnya, kita mungkin berpikir bahwa robo ini terbuat dari tanah liat. Robo sebenarnya adalah buah yang dikeringkan. Buah apa bisa sebesar itu? Saya sendiri belum pernah melihat buahnya, karena buah itu memang sudah tidak diketemukan lagi saat ini, oleh masyarakat setempat, buah tersebut dinamakan cewak. Cewak merupakan tanaman menjalar sejenis ketela rambat. Oleh orang Manggarai buah cewak itu kemudian dikeluarkan isinya dan dikeringkan sehingga menghasilkan robo seperti terlihat pada gambar di atas.
Jalan-jalan ke Lingko Apung dan Wae Mese
Hari pertama dan kedua berada di Beo Lete, saya dan keluarga disibukkan oleh acara adata Teing Hang. Pada hari ketiga, saya dan saudara2 saya kemudian jalan-jalan ke Lingko Apung dan Wae Mese.
Lingko adalah tanah komunal yang umumnya terdapat dalam setiap beo di Manggarai. Lingko dapat berupa kebun yang sedang dikerjakan ataupun lahan hutan yang pernah ataupun belum pernah dijadikan kebun. Sedangkan Apung adalah sebuah nama yang dipilih oleh masyarakat beo Lete untuk lingko tersebut, untuk membedakannya dengan lingko yang lainnya, karena dalam suatu beo bisa terdapat lebih dari satu lingko.
Yang unik dari Lingko Apung ini adalah masih jelasnya bentuk lodok lingko. Lodok lingko adalah suatu system pembagian Lingko di Manggarai yang pada prinsipnya dibuat dalam bentuk lingkaran seperti jaring laba-laba, seperti terlihat di gambar di bawah ini :
Lodok lingko bisa ditemukan tidak hanya di lahan basah seperti sawah tetapi juga pada lahan tanah kering, hanya saja jika di lahan tanah kering, bentuk lodok sudah tidak lagi dapat terlihat dengan jelas karena tertutup oleh kanopi tanaman, berbeda dengan lahan persawahan.
Menikmati lingko Apung ini memiliki kenikmatan tersendiri. Selain bentuknya yang unik, melihat sawah dan pondok-pondok, sesuatu yang jarang terlihat di kota adalah suatu hal yang menarik.
Puas berfoto-foto di Lingko Apung, kami kemudian jalan-jalan ke Wae Mese (wae=air; mese=besar) yakni sebuah sungai besar yang terletak di dekat Lingko Apung. Sungai ini keren banget, arusnya kuat, sepertinya akan asyik kalau dipakai buat arung jeram. Air sungai ini juga yang digunakan untuk mengairi sawah di Lingko Apung.
Satu yang saya perhatikan, bahwa di kampung Lete ini banyak sekali terdapat batu-batu besar, baik yang terdapat di sekitar pemukiman maupun di sekitar wae mese seperti terlihat pada gambar-gambar di atas. Waktu saya tanyakan kepada masyarakat setempat, mereka mengatakan bahwa batu-batu tersebut telah ada sejak jaman nenek moyang mereka dahulu. Ada tidak ya kemungkinan bahwa batu-batu ini berasal dari letusan gunung berapi? Sepertinya perlu penelitian khusus ya untuk mengetahui hal ini.
Ke Liang Golo
Hari berikutnya, saya dan sodara-sodara jalan-jalan ke Liang Golo (Liang=gua;Golo=bukit), yaitu sebuah gua. Dinamakan Liang Golo mungkin karena pintu masuk ke dalam gua ini terletak di atas sebuah bukit di beo Majung, sebuah kampung kecil di sebelah beo Lete. Menurut cerita masyarakat setempat, gua ini membentang mulai dari beo Majung melewati beo Lete hingga ke Wae Mese, diperkirakan sekitar 2 km. untuk membuktikan informasi tersebut kami tertantang untuk menaklukkan Liang Golo. Dengan perlengkapan yang minim (karena emang kurang persiapan) dan semangat yang maksimal kami kemudian masuk ke Liang Golo
Melihat mulut gua, kami semakin tertantang untuk masuk ke dalam gua. Masuk ke dalam gua ternyata sangat mudah, hanya perlu sedikit menunduk dan yup..tibalah ke dalam sebuah ruangan luas seperti dibawah ini :
Ruangan ini cukup luas, sekitar 5 m2. Tidak ada yang begitu menarik di dalam ruangan ini. Stalaktit dan stalakmitnya sudah terlalu sering dijamah sehingga terlihat seperti batu biasa yang terletak di luar gua.. Kami juga menemukan beberapa sarang tikus dan burung sriniti (Collacalia Esculanta).
Tidak lama di ruangan satu kami lalu melanjutkan menelusuri gua ini, melewati sebuah lubang kecil dan kami kembali bertemu dengan sebuah ruangan luas seperti gambar di bawah ini:
Ruangan ini sedikit lebih luas dari ruangan yang pertama, namun keadaannya tidak berbeda jauh dengan ruangan yang pertama, hanya saja di dalam ruangan ini terdapat sebuah batu besar seperti terlihat pada gambar di atas (batu yang kami duduki).
Setelah melihat-lihat sebentar, kami kemudian melanjutkan perjalanan, tetapi kali ini sebagian anggota rombongan memilih keluar dari gua dengan alasan keselamatan, lalu yang melanjutkan penelusuran tertinggal hanya 7 orang yakni saya, tante Onik, inang Gina (kami pertahanin ini karena diyakini masyarakat setempat memiliki “isi”), Adi,Safe,Akri dan Fir.
Keluar dari ruangan kedua tadi, jalan yang kami lalui semakin sempit dan lembab. Kemudian kami tiba di sebuah ruangan kecil seperti pada gambar berikut ini :
Ruangan ketiga ini, lebih sempit dibandingkan dengan dua ruangan sebelumnya. Keadaannyapun lebih lembab. Kami semakin banyak menemukan sarang tikus dan burung sriniti berterbangan kesana kemari. Yang keren adalah stalaktitnya, wuih..hidup banget
Puas mengagumi ruangan ketiga, kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini tidaklah semudah sebelumnya. Jalan yang kami lalui sangatlah sempit. Walau bukan menjadi masalah yang berarti untuk saya yang kurus ;-0 tetapi luamayan susah untuk badan-badan sintal ;-)
Keluar dari lorong tersebut kami kemudian masuk ke dalam ruangan yang keempat. Keadaan ruangan ini juga tidak berbeda jauh dengan ruangan ketiga, hanya ukurannya saja yang sedikit lebih panjang
Sebelum melanjutkan perjalanan kembali, salah seorang anggota rombongan kami yakni Safe kembali mundur dan memilih keluar, lagi-lagi karena alasan keselamatan. Meninggalkan ruangan keempat adalah perjalanan yang tersulit, karena selain lorongnya sangat sempit dan panjang, juga keadaannya yang sangat becek . Ditengah perjalanan dalam lorong ini, kami menemukan sebuah persimpangan, setelah sedikit bingung, Adi yang memimpin rombongan lalu memutuskan mengambil sebuah arah yang ternyata membawa kami ke sebuah lorong panjang yang penuh dengan genangan air dan sangat sempit, sehingga kami harus merayap dengan tanpa bisa melakukan banyak gerakan. Keluar dari lorong itu kami kemudian masuk ke sebuah ruangan yang luas dengan lantainya yang kering bahkan berdebu. Keadaan disini luar biasa indah, stalaktitnya sangat alami dan indah.
Di ruangan kelima ini, kami kembali menemukan persimpangan. Hanya tidak begitu sulit bagi kami untuk memilih karena salah satu jalan telah sengaja tertutup oleh batu. Menurut cerita, pada jalan ini, terdapat sebuah lubang vertikal di bagian atasnya yang menembus keluar, karena di bagian atas jalan tersebut adalah merupakan kebun milik warga maka oleh warga lubang tersebut ditutup dengan melemparkan batu-batu ke dalam gua. Nah tumpukan batu tersebutlah yang menutup salah satu cabang jalan. Kami kemudian menempuh jalan yang satunya. Jalan ini sangat basah dan licin.
Jalan ini tidaklah sempit, kami hanya perlu sedikit menunduk untuk melewatinya. Berjalan sekitar 10 meter kami kemudian masuk kembali ke sebuah ruangan panjang yang tidak sebesar ruangan sebelumnya.
Ruangan ini juga sangat indah, stalaktit dan stalakmitnya sangat indah dan mengagumkan, burung srinitipun semakin banyak yang terbang berhamburan kesana kemari.
Dan sayangnya, perjalanan kami haruslah diakhiri disini. Karena setelah meninggalkan ruangan ini, kami dihadapkan pada sebuah lubang yang sangat sulit untuk dimasuki karena terlalu kecil untuk ukuran badan saya sekalipun. Seandainya kami membawa peralatan yang cukup, bisa saja, kami sedikit melebarkan lubang. Dengan kecewa kamipun harus menghentikan perjalanan ini.
Tapi tidaklah mengapa, setidaknya sudah banyak juga yang telah kami saksikan di dalam gua ini. Walaupun dengan utang menelusuri kembali gua ini suatu saat.
Perjalanan pulang terasa lebih ringan dan mudah, yang terdengar hanya suara tawa, tikus yang berlari kesana kemari dan kelelawar yang berterbangan menghindari cahaya.
Ke Tengku Bilas
Hari berikutnya kami kembali berjelajah. Kali ini tujuan kami adalah ke Tengku Bilas. Tengku bilas ini terletak di Beo Lete, merupakan sebuah air terjun kecil dengan kali di bawahnya. Walaupun terletak tidak begitu jauh dari pemukiman, namun topografi menuju tengku bilas ini lumayan sulit, jalannya sangat terjal menghampiri 90 derajat kemiringannya.
Namun semuanya terbayarkan dengan pemandangan yang kami jumpai di Tengku Bilas ini.
Tengku bilas ini asyik banget untuk melepas stress. Disini saya teriak sejadi-jadinya, gila banget soalnya tempatnya, apalagi tebingnya yang sedikit susah saya naiki, karena selain kemiringannya yang terjal juga karena tanahnya yang sangat licin.
Sayang banget tempat indah kayak gini, sama halnya wae mese dan Liang Golo, mesti terlantar kayak gini, padahal punya potensi wisata. Kurangnya informasi dan aksesibilitasnya yang sulit membuat obyek-obyek ini hanya dikenal oleh warganya sendiri.
Pulang Ke Ruteng.
Tanpa terasa tanggal 8 Maret datang juga. Kamipun harus kembali lagi ke Ruteng. Sebenarnya kami masih ingin tinggal, tetapi hal lain menunggu kami di Ruteng. Saya sendiri berjanji akan kembali lagi kesini, masih ada beberapa tempat yang ingin saya kunjungi, Liang Golopun masih ingin saya telusuri sampai ujungnya. Suatu saat, pasti………..!!!!!!!!!
Jam dua kurang 15 menit, kami kemudian sampai di Beo Lete. Kampung ini masih juga tidak berubah sejak lima tahun yang lalu saya menginjaknya. Sepi, becek dengan penghuni yang sangat ramah. Oya karena nenek moyangnya kampung ini adalah buyutnya ajus, jadinya banyak banget keluarga ajus di kampung ini. Jadinya begitu kita sampai, banyak keluarganya yang datang ke rumah kakek saya untuk melepas kangen bersama kami semua.
Ngikut Acara Adat Teing Hang
Pada umumnya masyarakat Manggarai masih sering melakukan acara adat Teing Hang. Ini terkait dengan kepercayaan akan adanya campur tangan roh-roh nenek moyang maupun orang-orang yang telah meninggal (pa’ang be le)terhadap kehidupan, sehingga walaupun telah memeluk agama katholik, tetapi persembahan tetap pula diberikan kepada nenek moyang. Acara adat teing hang ini adalah salah satu acara yang dilakukan untuk memberikan persembahan kepada arwah nenek moyang. Biasanya acara ini dilakukan sebelum melakukan sebuah kegiatan tertentu misalnya sebelum pembagian lahan komunal lingko (lodok lingko) atau sebelum acara penti untuk meminta campur tangan dan bantuan para roh nenek moyang agar kegiatan yang akan dilakukan dapat berjalan lancar. Begitu pula halnya dengan acara Teing Hang yang kami lakukan, karena paman saya (adik ajus) akan melaksanakan sebuah kegiatan penting, maka kami sekeluarga besar mengadakan acara teing hang untuk meminta bantuan para arwah nenek moyang melancarkan kegiatan yang akan dilakukan paman saya tersebut.
Acara teing hang sebenarnya terbilang sederhana. Yang diperlukan hanyalah seeokor ayam jantan berwarna putih, tuak dan siri pinang. Acara ini biasanya dipimpin oleh seorang tua golo (pemimpin dalam sebuah kampung/beo).
Pertama-tama tua golo melakukan tudak (tudak=doa),kemudian ayam putih tersebut disembelih. Setelah sembelih, dilakukan apa yang dinamakan toto urat, yakni melihat tanda-tanda pada usus ayam, guna meramalkan kegiatan yang akan dilakukan, juga untuk mengetahui tudak yang telah disampaikan diterima oleh TYME dan direstui oleh para leluhur. Ini adalah semacam cara meramal tradisional orang Manggarai. Setelah toto urat, ayam kemudian dibakar. Hati ayam kemudian diambil untuk dipersembahkan kepada arwah nenek moyang.
Sebelum dipersembahkan ada tudaknya juga yang biasanya disebut tudak takung (doa persembahan). Setelah tudak takung baru kemudian persembahan (helang) yang berupa hati ayam tadi dicampuri sedikit garam dan disajikan bersama nasi,tuak dan sirih pinang. Mungkin kita bertanya dimanakah helang tersebut kemudian diletakkan? Helang tersebut hanya diletakkan di depan pemimpin acara dalam hal ini tua golo. Dalam kepercayaan masyarakat, bahwa dalam acara ini arwah para leluhur telah hadir bersama-sama dalam acara tersebut, sehingga persembahan diletakkan di tempat itu juga. Setelah acara helang ini, selesailah acar teing hang, biasanya dilanjutkan dengan makan dan minum bersama.
Oya, selama acara adat ini saya menemukan barang-barang budaya yang hampir punah di bumi Manggarai ini. Benda di bawah dinamakan lopa, sedangkan bagian dalamnya disebut tepak. Lopa ini terbuat dari kuningan dan digunakan sebagai tempat menyimpan sirih/pinang. Menurut cerita, lopa ini bukan merupakan hasil budaya orang Manggarai. Lopa ini berasal dari Gowa. Dahulu Manggarai merupakan daerah kekuasaan kesultanan Gowa. Nah, Lopa ini merupakan hasil barteran antara mayarakat Gowa dan penduduk asli. Lopa ini dibarterkan dengan seekor kerbau. Tidak diketahui secara pasti apakah nama Lopa merupakan nama yang diberikan oleh orang Manggarai atau oleh orang-orang Gowa sendiri. Selanjutnya oleh orang Manggarai Lopa ini digunakan sebagai tempat menyimpan sirih/pinang.
Yang terlihat pada gambar di atas adalah sebuah robo. Kalau Lopa berasal dari Gowa, namun robo merupakan hasil karya anak negri ;-). Robo ini adalah tempat menyimpan tuak. Melihat gambarnya, kita mungkin berpikir bahwa robo ini terbuat dari tanah liat. Robo sebenarnya adalah buah yang dikeringkan. Buah apa bisa sebesar itu? Saya sendiri belum pernah melihat buahnya, karena buah itu memang sudah tidak diketemukan lagi saat ini, oleh masyarakat setempat, buah tersebut dinamakan cewak. Cewak merupakan tanaman menjalar sejenis ketela rambat. Oleh orang Manggarai buah cewak itu kemudian dikeluarkan isinya dan dikeringkan sehingga menghasilkan robo seperti terlihat pada gambar di atas.
Jalan-jalan ke Lingko Apung dan Wae Mese
Hari pertama dan kedua berada di Beo Lete, saya dan keluarga disibukkan oleh acara adata Teing Hang. Pada hari ketiga, saya dan saudara2 saya kemudian jalan-jalan ke Lingko Apung dan Wae Mese.
Lingko adalah tanah komunal yang umumnya terdapat dalam setiap beo di Manggarai. Lingko dapat berupa kebun yang sedang dikerjakan ataupun lahan hutan yang pernah ataupun belum pernah dijadikan kebun. Sedangkan Apung adalah sebuah nama yang dipilih oleh masyarakat beo Lete untuk lingko tersebut, untuk membedakannya dengan lingko yang lainnya, karena dalam suatu beo bisa terdapat lebih dari satu lingko.
Yang unik dari Lingko Apung ini adalah masih jelasnya bentuk lodok lingko. Lodok lingko adalah suatu system pembagian Lingko di Manggarai yang pada prinsipnya dibuat dalam bentuk lingkaran seperti jaring laba-laba, seperti terlihat di gambar di bawah ini :
Lodok lingko bisa ditemukan tidak hanya di lahan basah seperti sawah tetapi juga pada lahan tanah kering, hanya saja jika di lahan tanah kering, bentuk lodok sudah tidak lagi dapat terlihat dengan jelas karena tertutup oleh kanopi tanaman, berbeda dengan lahan persawahan.
Menikmati lingko Apung ini memiliki kenikmatan tersendiri. Selain bentuknya yang unik, melihat sawah dan pondok-pondok, sesuatu yang jarang terlihat di kota adalah suatu hal yang menarik.
Puas berfoto-foto di Lingko Apung, kami kemudian jalan-jalan ke Wae Mese (wae=air; mese=besar) yakni sebuah sungai besar yang terletak di dekat Lingko Apung. Sungai ini keren banget, arusnya kuat, sepertinya akan asyik kalau dipakai buat arung jeram. Air sungai ini juga yang digunakan untuk mengairi sawah di Lingko Apung.
Satu yang saya perhatikan, bahwa di kampung Lete ini banyak sekali terdapat batu-batu besar, baik yang terdapat di sekitar pemukiman maupun di sekitar wae mese seperti terlihat pada gambar-gambar di atas. Waktu saya tanyakan kepada masyarakat setempat, mereka mengatakan bahwa batu-batu tersebut telah ada sejak jaman nenek moyang mereka dahulu. Ada tidak ya kemungkinan bahwa batu-batu ini berasal dari letusan gunung berapi? Sepertinya perlu penelitian khusus ya untuk mengetahui hal ini.
Ke Liang Golo
Hari berikutnya, saya dan sodara-sodara jalan-jalan ke Liang Golo (Liang=gua;Golo=bukit), yaitu sebuah gua. Dinamakan Liang Golo mungkin karena pintu masuk ke dalam gua ini terletak di atas sebuah bukit di beo Majung, sebuah kampung kecil di sebelah beo Lete. Menurut cerita masyarakat setempat, gua ini membentang mulai dari beo Majung melewati beo Lete hingga ke Wae Mese, diperkirakan sekitar 2 km. untuk membuktikan informasi tersebut kami tertantang untuk menaklukkan Liang Golo. Dengan perlengkapan yang minim (karena emang kurang persiapan) dan semangat yang maksimal kami kemudian masuk ke Liang Golo
Melihat mulut gua, kami semakin tertantang untuk masuk ke dalam gua. Masuk ke dalam gua ternyata sangat mudah, hanya perlu sedikit menunduk dan yup..tibalah ke dalam sebuah ruangan luas seperti dibawah ini :
Ruangan ini cukup luas, sekitar 5 m2. Tidak ada yang begitu menarik di dalam ruangan ini. Stalaktit dan stalakmitnya sudah terlalu sering dijamah sehingga terlihat seperti batu biasa yang terletak di luar gua.. Kami juga menemukan beberapa sarang tikus dan burung sriniti (Collacalia Esculanta).
Tidak lama di ruangan satu kami lalu melanjutkan menelusuri gua ini, melewati sebuah lubang kecil dan kami kembali bertemu dengan sebuah ruangan luas seperti gambar di bawah ini:
Ruangan ini sedikit lebih luas dari ruangan yang pertama, namun keadaannya tidak berbeda jauh dengan ruangan yang pertama, hanya saja di dalam ruangan ini terdapat sebuah batu besar seperti terlihat pada gambar di atas (batu yang kami duduki).
Setelah melihat-lihat sebentar, kami kemudian melanjutkan perjalanan, tetapi kali ini sebagian anggota rombongan memilih keluar dari gua dengan alasan keselamatan, lalu yang melanjutkan penelusuran tertinggal hanya 7 orang yakni saya, tante Onik, inang Gina (kami pertahanin ini karena diyakini masyarakat setempat memiliki “isi”), Adi,Safe,Akri dan Fir.
Keluar dari ruangan kedua tadi, jalan yang kami lalui semakin sempit dan lembab. Kemudian kami tiba di sebuah ruangan kecil seperti pada gambar berikut ini :
Ruangan ketiga ini, lebih sempit dibandingkan dengan dua ruangan sebelumnya. Keadaannyapun lebih lembab. Kami semakin banyak menemukan sarang tikus dan burung sriniti berterbangan kesana kemari. Yang keren adalah stalaktitnya, wuih..hidup banget
Puas mengagumi ruangan ketiga, kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini tidaklah semudah sebelumnya. Jalan yang kami lalui sangatlah sempit. Walau bukan menjadi masalah yang berarti untuk saya yang kurus ;-0 tetapi luamayan susah untuk badan-badan sintal ;-)
Keluar dari lorong tersebut kami kemudian masuk ke dalam ruangan yang keempat. Keadaan ruangan ini juga tidak berbeda jauh dengan ruangan ketiga, hanya ukurannya saja yang sedikit lebih panjang
Sebelum melanjutkan perjalanan kembali, salah seorang anggota rombongan kami yakni Safe kembali mundur dan memilih keluar, lagi-lagi karena alasan keselamatan. Meninggalkan ruangan keempat adalah perjalanan yang tersulit, karena selain lorongnya sangat sempit dan panjang, juga keadaannya yang sangat becek . Ditengah perjalanan dalam lorong ini, kami menemukan sebuah persimpangan, setelah sedikit bingung, Adi yang memimpin rombongan lalu memutuskan mengambil sebuah arah yang ternyata membawa kami ke sebuah lorong panjang yang penuh dengan genangan air dan sangat sempit, sehingga kami harus merayap dengan tanpa bisa melakukan banyak gerakan. Keluar dari lorong itu kami kemudian masuk ke sebuah ruangan yang luas dengan lantainya yang kering bahkan berdebu. Keadaan disini luar biasa indah, stalaktitnya sangat alami dan indah.
Di ruangan kelima ini, kami kembali menemukan persimpangan. Hanya tidak begitu sulit bagi kami untuk memilih karena salah satu jalan telah sengaja tertutup oleh batu. Menurut cerita, pada jalan ini, terdapat sebuah lubang vertikal di bagian atasnya yang menembus keluar, karena di bagian atas jalan tersebut adalah merupakan kebun milik warga maka oleh warga lubang tersebut ditutup dengan melemparkan batu-batu ke dalam gua. Nah tumpukan batu tersebutlah yang menutup salah satu cabang jalan. Kami kemudian menempuh jalan yang satunya. Jalan ini sangat basah dan licin.
Jalan ini tidaklah sempit, kami hanya perlu sedikit menunduk untuk melewatinya. Berjalan sekitar 10 meter kami kemudian masuk kembali ke sebuah ruangan panjang yang tidak sebesar ruangan sebelumnya.
Ruangan ini juga sangat indah, stalaktit dan stalakmitnya sangat indah dan mengagumkan, burung srinitipun semakin banyak yang terbang berhamburan kesana kemari.
Dan sayangnya, perjalanan kami haruslah diakhiri disini. Karena setelah meninggalkan ruangan ini, kami dihadapkan pada sebuah lubang yang sangat sulit untuk dimasuki karena terlalu kecil untuk ukuran badan saya sekalipun. Seandainya kami membawa peralatan yang cukup, bisa saja, kami sedikit melebarkan lubang. Dengan kecewa kamipun harus menghentikan perjalanan ini.
Tapi tidaklah mengapa, setidaknya sudah banyak juga yang telah kami saksikan di dalam gua ini. Walaupun dengan utang menelusuri kembali gua ini suatu saat.
Perjalanan pulang terasa lebih ringan dan mudah, yang terdengar hanya suara tawa, tikus yang berlari kesana kemari dan kelelawar yang berterbangan menghindari cahaya.
Ke Tengku Bilas
Hari berikutnya kami kembali berjelajah. Kali ini tujuan kami adalah ke Tengku Bilas. Tengku bilas ini terletak di Beo Lete, merupakan sebuah air terjun kecil dengan kali di bawahnya. Walaupun terletak tidak begitu jauh dari pemukiman, namun topografi menuju tengku bilas ini lumayan sulit, jalannya sangat terjal menghampiri 90 derajat kemiringannya.
Namun semuanya terbayarkan dengan pemandangan yang kami jumpai di Tengku Bilas ini.
Tengku bilas ini asyik banget untuk melepas stress. Disini saya teriak sejadi-jadinya, gila banget soalnya tempatnya, apalagi tebingnya yang sedikit susah saya naiki, karena selain kemiringannya yang terjal juga karena tanahnya yang sangat licin.
Sayang banget tempat indah kayak gini, sama halnya wae mese dan Liang Golo, mesti terlantar kayak gini, padahal punya potensi wisata. Kurangnya informasi dan aksesibilitasnya yang sulit membuat obyek-obyek ini hanya dikenal oleh warganya sendiri.
Pulang Ke Ruteng.
Tanpa terasa tanggal 8 Maret datang juga. Kamipun harus kembali lagi ke Ruteng. Sebenarnya kami masih ingin tinggal, tetapi hal lain menunggu kami di Ruteng. Saya sendiri berjanji akan kembali lagi kesini, masih ada beberapa tempat yang ingin saya kunjungi, Liang Golopun masih ingin saya telusuri sampai ujungnya. Suatu saat, pasti………..!!!!!!!!!
Senin, 02 Maret 2009
akhirnya bisa ngenet dengan nyaman
akhirnya..hari ini aku bisa nyaman berinternet tanpa harus dipusingkan dengan koneksi warnet kota ruteng yang lambat ato gprs mentari yang kadang terbit kadang gak. Speedy akhirnya masuk ke kota Ruteng setelah selama ini hanya terjamah sampe Bajo dan jadilah saya pelanggannya yan ke 33;-)
Kan asyik saya bisa ngenet kapan saja hanya dari dalam kamar, he..
ok, selangkah kemajuannya kota Ruteng nih
Kan asyik saya bisa ngenet kapan saja hanya dari dalam kamar, he..
ok, selangkah kemajuannya kota Ruteng nih
Langganan:
Postingan (Atom)