Kabupaten Kepulauan Sula merupakan kabupaten yang terletak paling selatan di propinsi Maluku Utara. Secara geografis terletak di 01 45 00 LS dan 124 05 00 BT 126 50 00 BT dengan batas wilayah sebelah Utara dengan Laut Maluku, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan sebelah Tim
ur dengan Laut Seram.
Larger Map
Kabupaten yang memiliki luas wilayah 24.082,30 Km2 ini terdiri dari 3 pulau besar yakni pulau Sulabesi, pulau Taliabu dan pulau Mangole. Sebagian dari kita mungkin ada yang belum pernah mendengar nama pulau-pulau ini, saya
sendiri juga baru tahu ketika saya bekerja di PT Barito Pacific Timber Tbk pada pertengahan 2005 silam, karena beberapa camp HTI dan HPH serta Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) kayu lapis milik perusahaan tempat saya bekerja terletak di dua pulau di kabupaten Kepulauan Sula yakni pulau Taliabu dan pulau Mangole.
Kabupaten Kepulauan Sula terbagi ke dalam 124 desa dan 19 kecamatan.
Dari 19 kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sula tersebut, 5 kecamatan diantaranya terdapat di pulau Mangole yakni kecamatan Mangole Timur Tengah dengan ibukota Waisakai, kecamatan Mangole Selatan dengan ibukota Buya, kecamatan Mangole Timur dengan ibukota Waitina, kecamatan Mangole Barat dengan ibukota Do
fa dan kecamatan Mangole Utara dengan ibukota Falabisahaya.
Dari kelima kecamatan di pulau Mangole tersebut, yang paling ramai dan maju adalah Kecamatan Mangoli Utara yang beribukota Falabisahaya. Bisa dikatakan Falabisahaya sebagai pusat dari pulau Mangole ini, karena selain penduduknya lebih banyak daripada kecamatan-kecamatan lainnya juga karena fasilitas umum yang terletak di kecamatan ini lebih lengkap dibandingkan di kecamatan lainnya.
Di Pulau Mangole ini terdapat 2 unit HTI dan sebuah industri kayu
lapis milik group PT Barito Pacific Tbk; yakni HTI PT Mangole
Timber Producers Unit I di Desa Binono dan HTI PT Kalpika Wanatama unit II di Desa Mandafuhi, keduanya berada di Kecamatan Mangole Barat serta IPKH PT Mangole Timber Producers yang terletak di Falabisahaya kecamatan Mangole Utara.
Selain kedua unit HTI dan IPKH tersebut di atas, di Kabupaten Kepulauan Sula tepatnya di pulau Taliabu, masih terdapat unit HTI dan HPH milik PT Barito
Pacific Timber tbk yakni HTI PT Mangole Timber Producers Unit II di Desa Tubang, PT Kalpika Wanatama Unit I di Desa Samuya Kecamatan
Taliabu Timur Selatan serta sebuah HPH PT Mangole Timber Producers Unit III di Desa Tubang.
Keberadaan industri PT Mangole Timber Producers di Falabisahaya
mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa Falabisahaya menjadi kecamatan yang paling maju di pulau Mangole.
Di Falabisahaya kawasan industri tersebut menempati suatu lokasi yang cukup luas dengan fasilitas perumahan karyawan dan berbagai fasilitas lainnya, yang disediakan demi kenyamanan karyawan yang sebagian besar adalah pendatang.Pertama kali bekerja di PT Barito Pacific tbk, saya diberi tanggungjawab terhadap pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKM)
di desa-desa sekitar IPKH dengan pusat kegiatan di Falabisahaya.
Karenanya, saya banyak menghabiskan waktu saya di Falabisahaya dan secara otomatis saya ikut menikmati fasilitas perusahaan di IPKH. Berbagai fasilitas disediakan perusahaan dalam kompleks ini antara lain mess karyawan (lumayan pake AC lho),kantin,koperasi,wartel,kantor dengan fasilitas inter
net, fasilitas olahraga (tenis,basket,sepak bola,volly, dan bulu tangkis),taman kanak-kanak dan sarana ibadah.
Kompleks perusahaan ini, dikelilingi oleh tembok setinggi 4meter yang dijaga oleh satpam di setiap pintu masuknya, hal yang lazim terjadi di perusahaan-perusahaan lainnya di tanah air, tembok yang berdiri kokoh dengan papan peringatan yang tak kasat mata :dunia kemewahan dalam perusahaan dan dunia kesederhanaan masyarakat sekitar.
Kantor PT.Barito Pacific Falabisahaya
Sampai pada tahun 1998, fungsi tak kasat mata tembok ini masih berlaku, bahkan kompleks ini dahulunya sering disebut kota dalam hutan, namun setelah terjadinya reformasi tahun 1998 serta gempa bumi yang melanda kepulauan ini pada tahun yang sama, keadaan sudah
sedikit berubah. Kerusakan pada beberapa mesin dan fasilitas perusahaan akibat gempa yang terjadi juga keadaan keuangan perusahaan akibat krisis ekonomi dan reformasi mengakibatkan perusahaan ini menurunkan kapasitas produksinya.
Sejak itu, tulisan tak kasat mata pada tembok sekeliling perusahaan sepertinya ikut terhapus. Masyarakat luar juga menjadi sedikit beb
as untuk keluar masuk wilayah perusahaan dan ikut menggunakan fasilitas perusahaan yang ada terutama fasilitas olahraga dan ibadah. Keadaan di dalam kompleks perusahaan dan diluar komplekspun semakin tidak terlihat perbedaannya.
Di luar kompleks perusahaan, tersedia pula fasilitas-fasilitas umum, walaupun kondisinya sangat pas-pasan.
Jalan raya yang membelah Falabisahaya maupun jalan-jalan yang menghubungkan desa-desa di Mangole terlihat berlubang di sana-sini,yang memberi kesan "debu" dimusim kemarau. Sarana transportasi umum yang digunakan di Falabisahaya adalah ojek dan becak.
Untuk transportasi antar desa dan pulau-pulau terdekat, orang-orang lebih memilih menggunakan transportasi laut seperti ketinting (sebutan untuk perahu kecil berkapasitas max 4 orang),speed boat dan long boat. Sedangkan untuk perhubungan dengan pulau-pulau yang lebih jauh seperti Ternate dan Sulawesi, masyarakat menggunakan kapal motor swasta dan pesawat
udara.Tidak ada satupun angkutan umum beroda empat digunakan di daerah ini, yang mungkin dikarenakan keadaan jalan yang kurang mendukung.Untuk sarana pendidikan terdapat sekolah-
sekolah dari TK sampai SMA dengan fisik bangunan "perlu renofasi", malahan ada beberapa sekolah
yang terpaksa "nebeng" menggunakan gedung sekolah yang lain karena keadaan fisik bangunannya sudah tidak mungkin digunakan lagi.Fasilitas ibadah di daerah ini terbilang lumayan. Karena mayoritas masyarakat yang memeluk agama islam, di daerah ini banyak terdapat mesjid dengan fisik bangunan yang lumayan bagus.
Selain mesjid terdapat juga gereja katholik dan beberapa gereja kristen. Selain sarana dan prasarana di atas, di daerah ini juga terdapat pertokoan, pasar rakyat, fasilitas olah raga, Telkom (ada sinyal juga kok), Kantor Pos, Puskesmas, penginapan (kelas melati tentunya), rumah karaoke, serta sebuah lokalisasi. Agak kaget juga menemui adanya sebuah lokalisasi di kecamatan kecil ini, padahal masyarakatnya agak jauh dari modernisasi, mungkin ini sebagai suatu imbas dari kemajuan yang pernah dicapai oleh oleh PT Barito Pacific Timber tbk dan juga perusahaan pengelola hutan di daerahn ini sebelumnya yang berasal dari Philipina.
Penduduk di pulau Mangole terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain penduduk asli bersuku bangsa Sula, pulau Mangole juga terdiri dari beberapa suku bangsa antara lain Buton, Bugis, Manado, Minahasa, Sangihe-Talaud, Jawa dan Flores. Masyarakat yang ramah membuat saya seperti berada di kampung sendiri, apalagi di sini terdapat sebuah kampung Flores bernama kampung Kodok. Di kampung ini hidup banyak sekali orang Flores yang sudah berpuluh-puluh tahun di Mangole bahkan banyak dari antara mereka yang sudah lupa budaya Flores. Kebanyakan dari mereka enggan untuk kembali ke Flores karena mereka rata-rata telah memiliki rumah dan kebun di Mangole.
Mungkin karena terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa indonesia dengan dialek Maluku. Diantara para masyarakat asli juga sangat sulit menemukan orang yang bisa berbahasa Sula seperti sulitnya menemukan jejak-jejak kebudayaan di daerah ini. Kurangnya usaha-usaha pelestarian dan tidak adanya kebanggaan akan budaya daerah mungkin menjadi sebab terjadinya hal tersebut. Saya yang sangat menggemari kebudayaan daerah-daerah Indonesia menjadi sedikit kecewa begitu mengetahui betapa kebudayaan menjadi sangat tidak dikenal di daerahnya sendiri.
Walaupun kebudayaannya sudah terkikis, namun kehidupan sosial masyarakat di Pulau Mangole terbilang aman. Mangole yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama islam (diikuti Protestan dan Katholik), adalah satu-satunya Pulau di Kepulauan Sula yang tidak terkena imbas konflik agama Ambon. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kepulauan Sula, masyarakat Mangole memang terbilang memiliki pikiran yang lebih maju dan terbuka, masyarakat hidup rukun dan damai antara satu dengan yang lainnya.
Saya teringat ketika pertama kali menginjakkan kaki di pulau Taliabu, saya pernah bertemu beberapa orang yang ketika pertama kali berkenalan dengan saya, hal pertama yang ditanya setelah nama adalah : "agamanya apa"?. Agak ngeri juga mendapatkan orang yang begitu sensitifnya akan agama, bahkan agama seseorang akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana ia akan diperlakukan. Sejauh itu, hal tersebut sangat bisa saya maklumi karena melihat berbagai dokumentasi dan mendengar sendiri kesaksian korban-korban kerusuhan Ambon, kerusuhan SARA itu pernah membuat luka yang sangat dalam.
Mata pencaharian utama masyarakat Mangole adalah nelayan. Mereka adalah pelaut-pelaut yang ulung, hasil laut di daerah ini juga sangat banyak seperti ikan merah, ikan cakalang, ikan goropa, cumi, tripang dan juga rumput laut. Selain sebagai nelayan, ada juga masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani, yang umumnya adalah masyarakat pendatang dari Flores dan Buton. Jenis pertanian yang mereka usahakan adalah tanaman berumur panjang seperti kelapa, coklat dan pala. Selain nelayan dan petani, mata pencaharian lainnya adalah buruh pabrik, pegawai pemerintahan dan pengusaha kayu bal ataupun kayu gergajian. Terhitung ada 4 unit industri kayu gergajian (saw mill) milik masyarakat di daerah ini. Mangole dan Kabupaten Kepulauan Sula umumnya memang memiliki potensi hasil hutan yang banyak dengan jenis-jenis Meranti, Binuang, Jabon serta jenis-jenis kayu rimba lainnya.
ciat...
Pulau Mangole juga memiliki potensi wisata alam pantai, hanya saja belum dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah, padahal pantai-pantai tersebut sangat indah dan alami tetapi pantai-pantai di pulau ini dibiarkan "terlantar" begitu saja. Salah satu pantai favorit yang sering saya kunjungi adalah pantai Lekosula. Di pantai berpasir putih ini saya sering melepas penat setelah seharian berkutat dengan kerjaan di kantor, menikmati angin sore yang meniup ombak, terasa begitu menyenangkan. Disamping pantai Lekosula masih ada pantai-pantai lainnya seperti pantai tanah dolong, pantai lapter dan pantai lekokadai
Di Pantai Lekosula
Jika suatu saat ada diantara kita yang ingin mencoba menikmati matahari sore di pantai-pantai tersebut atau sekedar ingin menaklukkan pulau-pulau nusantara, tidak ada salahnya datang ke Pulau ini. Pulau Mangole dapat dijangkau dengan menempuh jalur transportasi udara ataupun transportasi laut. Transportasi udara bisa menggunakan rute pesawat : Ternate - Falabisahaya dua minggu sekali dengan harga tiket Rp.200.000,- atau dengan transportasi laut : Manado - Falabisahaya setiap hari senin dengan menggunakan kapal KM Thedora dan setiap hari rabu dengan menggunakan kapal KM Intim Teratai dengan harga tiket sebesar Rp.175.000,-